Penolakan Penertiban PKL di Permindo Padang: Ricuh dan Korban Luka
Penertiban pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Permindo Padang pada Minggu malam berujung ricuh dan menimbulkan korban luka dari kedua belah pihak, akibat pencabutan Perwako 438 Tahun 2018 yang sebelumnya mengatur operasional PKL di lokasi tersebut.
![Penolakan Penertiban PKL di Permindo Padang: Ricuh dan Korban Luka](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/03/110041.785-penolakan-penertiban-pkl-di-permindo-padang-ricuh-dan-korban-luka-1.jpg)
Minggu malam sekitar pukul 22.30 WIB, suasana di Jalan Permindo, Padang, Sumatra Barat (Sumbar) mendadak tegang. Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) Padang yang hendak menertibkan pedagang kaki lima (PKL) setempat mendapati penolakan keras, berujung pada kericuhan tak jauh dari Pasar Raya Padang.
Kepala Satpol-PP Padang, Chandra Eka Putra, menjelaskan bahwa penertiban ini merupakan upaya penegakan Peraturan Daerah (Perda) setelah Perwako Nomor 438 Tahun 2018 yang mengatur operasional PKL di Pasar Raya Padang dan Jalan Permindo dicabut. Perwako tersebut sebelumnya mengizinkan PKL berjualan setelah pukul 15.00 WIB di Pasar Raya Padang dan pukul 17.00 WIB di Jalan Permindo.
Chandra menegaskan bahwa penertiban telah dilakukan sesuai prosedur, termasuk pemberitahuan sebelumnya kepada para pedagang. Namun, penolakan pedagang terhadap upaya penertiban tersebut berujung pada aksi saling dorong dan adu fisik antara petugas Satpol-PP dan PKL.
Insiden ini mengakibatkan sejumlah korban luka dari kedua belah pihak. Data yang dihimpun menyebutkan lima pedagang dan tiga petugas Satpol-PP mengalami luka-luka. Para korban luka telah dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis.
Konflik ini menyoroti tantangan dalam penertiban PKL, khususnya ketika aturan yang sebelumnya berlaku dicabut. Proses komunikasi dan sosialisasi kebijakan yang lebih efektif kepada para pedagang penting untuk menghindari bentrokan serupa di masa mendatang. Pihak berwenang perlu mempertimbangkan strategi yang lebih humanis dan melibatkan partisipasi pedagang dalam mencari solusi yang saling menguntungkan.
Kejadian ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai mekanisme pencabutan Perwako dan persiapan yang dilakukan sebelum penertiban dilakukan. Apakah sosialisasi yang dilakukan sudah cukup optimal, dan apakah terdapat alternatif solusi yang lebih komprehensif untuk relokasi atau penataan PKL di kawasan tersebut?
Peristiwa di Permindo ini menjadi pengingat pentingnya komunikasi yang transparan dan dialog yang konstruktif antara pemerintah dan para pedagang dalam menyelesaikan permasalahan PKL. Ke depannya, pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif diharapkan dapat mencegah terjadinya kembali konflik serupa.
Kejadian ini pun menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak terkait, pentingnya memahami dan mengikuti aturan yang berlaku, serta pentingnya dialog dan kesepahaman bersama untuk menciptakan ketertiban dan keamanan di Kota Padang.