Polda DIY Tunggu Laporan Kasus Kekerasan Seksual di UGM
Polda DIY belum menerima laporan terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru besar UGM, meskipun kampus telah menjatuhkan sanksi administratif.

Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY) hingga saat ini masih menunggu laporan resmi terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru besar di Fakultas Farmasi Universitas Gadah Mada (UGM) berinisial EM. Peristiwa ini telah menggemparkan civitas akademika dan publik luas, mengingat EM terbukti melakukan tindakan tersebut terhadap sejumlah mahasiswa.
Kepala Bidang Humas Polda DIY, Kombes Pol Ihsan, menyatakan bahwa belum ada laporan yang masuk, baik dari korban maupun dari pihak UGM. "Kami belum menerima laporan, baik dari korban maupun pihak UGM. Dan sebagai langkah proaktif, kami sudah berkoordinasi juga dengan pihak UGM," ujar Ihsan dalam keterangannya di Yogyakarta, Rabu (23/4).
Meskipun UGM telah menyelesaikan proses etik dan menjatuhkan sanksi administratif berupa pemberhentian tetap sebagai dosen terhadap EM pada 20 Januari 2025, proses hukum pidana tidak dapat berjalan tanpa adanya laporan resmi dari korban atau kuasa hukumnya. Hal ini ditegaskan oleh pihak kepolisian, yang menekankan pentingnya peran korban dalam pengungkapan kasus ini.
UGM Tegaskan Kedudukan Hukum Korban
Sekretaris UGM, Andi Sandi Antonius, menjelaskan bahwa meskipun UGM telah menjatuhkan sanksi kepada EM, kampus tidak memiliki kedudukan hukum yang kuat untuk melaporkan kasus tersebut ke aparat penegak hukum. Andi menekankan bahwa korban memiliki 'legal standing' yang paling kuat untuk melaporkan pelaku ke polisi.
"Terkait apakah korban tidak mau melapor, saya belum pernah mendengar dan melihat, dan saya mohon maaf tidak akan memberikan 'statement'. Ini demi melindungi korban," ujar Andi, yang juga turut menjaga privasi para korban kekerasan seksual.
Pihak UGM telah melakukan proses pemeriksaan etik melalui Satgas PPKS sejak Agustus hingga Oktober 2024, berdasarkan laporan yang diterima pada Juli 2024. Pemeriksaan tersebut melibatkan 13 korban dan saksi, yang mengungkap modus operandi EM dalam melakukan kekerasan seksual, yaitu dengan pendekatan akademik, seperti saat bimbingan tugas akhir dan persiapan lomba, yang mayoritas berlangsung di luar kampus.
Proses Hukum Tergantung Laporan Korban
Kombes Pol Ihsan menegaskan kembali bahwa proses hukum baru dapat dimulai setelah adanya laporan resmi dari korban atau kuasa hukumnya. "Sebenarnya bisa saja (diproses tanpa laporan), tapi ini kan kasus pelecehan, karena akan menyangkut nama baik korban juga. Kalau yang bersangkutan tidak mau ditemui, tidak mau diwawancarai, tidak mau diperiksa, kita juga terkendala," jelasnya.
Pihak kepolisian membuka kesempatan bagi korban untuk melaporkan kasus ini, baik secara langsung maupun melalui pendamping hukum, termasuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH). "Silakan saja, kita justru senang kalau memang ada pendampingan, jadi kita bisa secepatnya melakukan upaya-upaya. Tapi memang saat ini kita terkendala karena tidak ada pelaporan dari korban itu sendiri," ucapnya.
Polda DIY berharap agar korban kekerasan seksual berani melapor untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum. Proses hukum yang adil dan transparan sangat penting untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang dan memberikan rasa aman bagi para mahasiswa.
Kasus ini menyoroti pentingnya peran berbagai pihak, termasuk kampus, dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Dukungan dan pendampingan bagi korban menjadi kunci dalam proses penyelesaian kasus ini dan pencegahan kasus serupa di masa depan.
Kesimpulan
Hingga saat ini, proses hukum kasus kekerasan seksual di UGM masih menunggu laporan resmi dari korban. Meskipun UGM telah menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku, proses hukum pidana hanya dapat berjalan dengan adanya laporan resmi dari korban atau kuasa hukumnya. Polda DIY menyatakan kesiapannya untuk memproses laporan tersebut dan memberikan perlindungan hukum kepada korban.