UGM Pecat Guru Besar Pelaku Kekerasan Seksual: Kasus Terungkap Setelah Laporan Juli 2024
Universitas Gadjah Mada (UGM) memecat seorang guru besar di Fakultas Farmasi karena terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswa, setelah kasus terungkap pada Juli 2024.

Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta telah mengambil tindakan tegas terhadap seorang guru besar di Fakultas Farmasi, berinisial EM, yang terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswanya. Kasus ini terungkap setelah laporan resmi diajukan ke Fakultas Farmasi pada Juli 2024, melibatkan tindakan yang terjadi sepanjang tahun 2023 hingga 2024. Pemecatan EM diputuskan setelah melalui proses investigasi menyeluruh oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM.
Proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Satgas PPKS UGM berlangsung intensif sejak 1 Agustus hingga 31 Oktober 2024. Pemeriksaan melibatkan 13 orang saksi dan korban yang memberikan keterangan secara terpisah. Komite Pemeriksa juga mendengarkan penjelasan dari terlapor, EM, dan menelaah berbagai bukti pendukung sebelum memberikan rekomendasi kepada pihak universitas. Sekretaris UGM, Andi Sandi, menjelaskan bahwa sanksi pemecatan ini sesuai dengan peraturan kepegawaian yang berlaku dan telah ditetapkan melalui Keputusan Rektor UGM Nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025 tertanggal 20 Januari 2025.
Modus operandi EM dalam melakukan kekerasan seksual ini terungkap melalui pendekatan akademik, seperti bimbingan dan diskusi. Sebagian besar pertemuan tersebut dilakukan di luar lingkungan kampus. "Ada diskusi, ada bimbingan, ada juga pertemuan di luar untuk membahas kegiatan-kegiatan ataupun lomba yang sedang diikuti," jelas Andi Sandi dalam keterangan resminya. Dengan demikian, tindakan EM tidak hanya melanggar peraturan rektor dan kode etik dosen, tetapi juga mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya sebagai seorang pendidik.
Proses Investigasi dan Sanksi
Satgas PPKS UGM berperan penting dalam mengungkap kasus ini dan memberikan pendampingan kepada korban. Pembentukan Komite Pemeriksa melalui Keputusan Rektor Nomor 750/UN1.P/KPT/HUKOR/2024 menandai komitmen UGM dalam menangani kasus kekerasan seksual secara serius dan transparan. Proses pemeriksaan yang teliti dan melibatkan berbagai pihak memastikan keadilan bagi korban dan ketegasan dalam menindak pelaku.
EM dinyatakan melanggar Pasal 3 ayat (2) huruf l dan m Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan kampus, serta melanggar kode etik dosen. Sebagai langkah awal, sebelum pemeriksaan rampung, EM telah dibebastugaskan dari seluruh aktivitas tri dharma perguruan tinggi dan dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi pada 12 Juli 2024. Langkah ini diambil untuk menjaga ruang aman bagi korban dan civitas akademika.
UGM juga menekankan komitmennya dalam memberikan pelayanan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan kepada korban kekerasan seksual. "UGM melalui Satgas PPKS UGM terus memberikan pelayanan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan pada korban sesuai dengan kebutuhan para korban," tegas Andi Sandi. Meskipun demikian, status guru besar EM masih berada di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, karena pengangkatan guru besar merupakan keputusan menteri.
Status Guru Besar dan Komitmen UGM
Andi Sandi menjelaskan bahwa pencabutan gelar guru besar juga harus dilakukan melalui keputusan menteri. Jabatan akademik seperti lektor kepala dan guru besar berada di bawah kewenangan pusat, berbeda dengan lektor atau asisten ahli yang dapat ditetapkan oleh perguruan tinggi. UGM telah menyampaikan hasil laporan pemeriksaan kepada kementerian terkait.
UGM berkomitmen untuk menciptakan lingkungan kampus yang bebas dari kekerasan seksual melalui berbagai langkah sistemik. Pembentukan Satgas PPKS sejak September 2022 dan integrasi kebijakan internal dengan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 merupakan bukti nyata komitmen tersebut. "Berbagai kebijakan yang disusun, diterapkan, dan dilaksanakan dengan berpegang pada prinsip bahwa kampus idealnya adalah ruang yang kondusif dan aman dari berbagai praktik kekerasan," pungkas Andi Sandi.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia untuk terus meningkatkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Transparansi, proses investigasi yang adil, dan komitmen untuk melindungi korban merupakan kunci dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman dan kondusif bagi seluruh civitas akademika.