REI Nilai Pembentukan BP3 Tidak Relevan, Kementerian PUPR Sudah Cukup
Realestat Indonesia (REI) menilai pembentukan Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) tidak relevan karena keberadaan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). REI menyarankan agar fokus pada implementasi hunian berimbang yang reali

Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto, menyatakan bahwa wacana pembentukan Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) dinilai tidak relevan. Pernyataan ini disampaikan di Tangerang, Banten, Jumat (14/3), menyusul adanya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang sudah menangani sektor perumahan. Beliau menekankan bahwa keberadaan Kementerian PUPR dan sistem perizinan Online Single Submission (OSS) sudah cukup efisien untuk mengelola sektor perumahan.
Joko Suranto menjelaskan bahwa rencana awal pembentukan BP3 bertujuan untuk mempermudah koordinasi antar kementerian terkait sektor perumahan. Namun, dengan adanya Kementerian PUPR yang memiliki kewenangan khusus, pembentukan BP3 dianggap tidak perlu dan justru akan menimbulkan inefisiensi. Ia menambahkan bahwa rencana pemerintah untuk mempercepat pembangunan perumahan melalui program hunian berimbang dapat ditangani sepenuhnya oleh Kementerian PUPR.
Lebih lanjut, REI khawatir pembentukan BP3 berpotensi menciptakan dualisme kebijakan dan tumpang tindih pengaturan di industri properti. Oleh karena itu, REI berpendapat bahwa Kementerian PUPR sudah mampu mengatur dan mengelola program hunian berimbang tanpa perlu adanya lembaga baru. Hal ini untuk menghindari tumpang tindih kelembagaan dan kebijakan yang dapat menghambat pembangunan sektor perumahan.
REI Usul Solusi untuk Hunian Berimbang
Meskipun secara prinsip REI tidak menolak kebijakan hunian berimbang yang diamanatkan undang-undang, Joko Suranto menekankan perlunya skema yang realistis. Selama 13 tahun, program hunian berimbang belum terealisasi secara optimal. Oleh karena itu, REI mengajukan beberapa usulan kepada pemerintah untuk meningkatkan efektivitas program tersebut.
REI mengusulkan revisi regulasi agar hunian berimbang skala besar dapat dilaksanakan di berbagai lokasi, termasuk lintas kabupaten/provinsi. Selain itu, REI juga menyarankan adanya kerjasama antara pengembang besar dan kecil dalam pelaksanaan program ini. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta sinergi dan pemerataan pembangunan perumahan.
Sebagai solusi lain, REI mengusulkan agar implementasi hunian berimbang diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang. Penentuan lokasi pembangunan rumah tipe sederhana bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) harus tercantum dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan dibentuk sub-zonasi khusus. Langkah ini diharapkan dapat mengendalikan harga lahan di lokasi pembangunan rumah MBR.
Terakhir, REI berharap Kementerian PUPR segera mengeluarkan kebijakan komprehensif terkait skema hunian berimbang. Hal ini penting untuk menciptakan sinergi dan komunikasi yang baik dengan seluruh pemangku kepentingan di sektor perumahan, guna memastikan keberhasilan program hunian berimbang.
Kesimpulan
REI menekankan pentingnya efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan sektor perumahan. Dengan adanya Kementerian PUPR dan sistem OSS, pembentukan BP3 dinilai tidak relevan. REI memberikan beberapa usulan konkret untuk meningkatkan efektivitas program hunian berimbang, termasuk revisi regulasi, kerjasama antar pengembang, dan integrasi ke dalam rencana tata ruang. REI berharap pemerintah dapat memperhatikan usulan tersebut untuk menciptakan sektor perumahan yang lebih baik dan terjangkau.