Revisi KUHAP: Jangan Reduksi Elemen Fundamental, Imbau Pengamat
Mantan Kepala Bais, Soleman B. Ponto, meminta revisi KUHAP fokus pada penyempurnaan, bukan pengurangan elemen fundamental demi mencegah ketidakpastian hukum dan penyalahgunaan wewenang.

Jakarta, 20 Februari 2024 (ANTARA) - Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tengah menjadi sorotan. Laksda Purn. Soleman B. Ponto, pengamat militer dan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais), menekankan pentingnya menjaga elemen fundamental KUHAP dalam proses revisi. Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi daring bertajuk RUU KUHAP: Masa Depan Penegakkan Hukum di Indonesia pada Kamis.
Soleman B. Ponto mengingatkan agar revisi KUHAP difokuskan pada penyempurnaan, bukan pengurangan elemen-elemen penting yang telah terbukti efektif. Ia juga menekankan perlunya revisi tersebut untuk menciptakan instrumen hukum yang lebih maju, tanpa mengorbankan prinsip keadilan yang telah tertanam dalam KUHAP lama. Proses revisi, menurutnya, harus melibatkan masukan dari berbagai pihak untuk memastikan hasil yang komprehensif dan berimbang.
Salah satu kekhawatiran utama Soleman adalah wacana penghapusan atau pengurangan mekanisme koneksitas dalam sistem peradilan. Ia menilai hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak adil di antara peradilan militer dan sipil. "Bisa saja satu perkara nanti satu di peradilan sipil, satu di peradilan militer. Militer nanti dihukum terlalu ringan, yang sipil terlalu berat, atau sebaliknya. Itulah pentingnya koneksitas supaya terdapat kepastian hukum," tegas Soleman.
Perlindungan HAM dan Pencegahan Penyalahgunaan Wewenang
Selain koneksitas, Soleman juga menyoroti pentingnya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam proses penyidikan. Ia meminta aturan yang tegas dan pengawasan independen untuk mencegah praktik penyiksaan terhadap tersangka. Lebih lanjut, ia mengingatkan bahaya potensi penyalahgunaan wewenang oleh penyidik, terutama terkait penangkapan dan penahanan yang tidak proporsional. "Kewenangan penyidik harus dibatasi agar tidak terjadi penyalahgunaan," ujarnya.
Transparansi dan pengawasan juga menjadi poin penting yang diangkat Soleman. Ia berharap KUHAP yang direvisi mewajibkan penyidik dan jaksa untuk memberikan informasi yang jelas dan terbuka kepada publik mengenai perkembangan suatu kasus. Hal ini penting untuk menjaga akuntabilitas dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Pentingnya revisi KUHAP juga ditekankan oleh DPR RI. RUU KUHAP telah disetujui menjadi RUU usul inisiatif DPR RI dalam Rapat Paripurna Ke-13 pada Selasa, 18 Februari 2024. RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 dan dianggap penting untuk segera dibahas mengingat berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2 Januari 2026.
Masukan Berbagai Pihak
Soleman menekankan pentingnya mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak dalam proses revisi KUHAP. Hal ini bertujuan untuk memastikan revisi tersebut menghasilkan aturan hukum yang lebih baik, adil, dan efektif dalam menegakkan hukum di Indonesia. Proses yang transparan dan partisipatif akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan memastikan revisi KUHAP tidak merugikan kepentingan masyarakat luas.
Dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, revisi KUHAP diharapkan dapat menjadi instrumen hukum yang lebih modern, efektif, dan berkeadilan. Revisi ini harus mampu menjawab tantangan penegakan hukum di era modern, sekaligus melindungi hak-hak asasi manusia dan mencegah penyalahgunaan wewenang.
Kesimpulannya, revisi KUHAP harus dilakukan secara hati-hati dan komprehensif, dengan tetap mempertahankan elemen-elemen fundamental yang telah terbukti efektif. Proses revisi harus melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak dan mengedepankan prinsip keadilan, transparansi, dan perlindungan HAM.