Sejuta Hiloi: Festival Budaya Sentani Lestarikan Warisan Kuliner Papua
Festival Sejuta Hiloi di Jayapura akan lestarikan hiloi, alat makan tradisional Suku Sentani, sebagai simbol identitas dan warisan budaya Papua.

Jayapura, 17 Mei (ANTARA) - Di setiap rumah masyarakat adat Sentani di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, terdapat sebuah benda sederhana namun sarat makna yang disimpan di sudut dapur: hiloi.
Hiloi adalah garpu tradisional dari kayu yang digunakan untuk memakan papeda, makanan pokok masyarakat Papua yang terbuat dari sagu. Lebih dari sekadar alat makan, hiloi merupakan simbol warisan budaya, alat pemersatu keluarga, dan penanda identitas Suku Sentani.
"Hiloi bukan sekadar cabang kayu. Alat ini mewujudkan filosofi hidup masyarakat adat Sentani tentang kebersamaan, kesabaran, dan penghormatan kepada leluhur," kata Orgenes Monim, tokoh budaya asli Suku Sentani, kepada ANTARA.
Mengenal Lebih Dekat Hiloi dan Tradisi Suku Sentani
Suku Sentani merupakan kelompok etnis yang mendiami wilayah Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, khususnya di sekitar Danau Sentani dan sebagian Kota Jayapura, dengan populasi sekitar 30 ribu jiwa. Mereka tersebar di tiga wilayah geografis: kelompok barat di Pulau Yonokom, kelompok timur di Pulau Asei, dan kelompok tengah di Pulau Ifar.
Dalam budaya kuliner Suku Sentani, hiloi selalu disertai dengan wadah papeda dari tanah liat yang disebut helai dalam bahasa Sentani, dan piring tanah liat untuk hidangan sampingan, yang dikenal sebagai hote. Ketiga benda ini membentuk sistem penyajian makanan tradisional yang estetis dan kaya akan nilai spiritual dan ekologis.
Kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jayapura, Fredrik Modouw, mengatakan kepada ANTARA bahwa hiloi merupakan bagian penting dari ekosistem budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat. "Masyarakat adat Sentani memiliki keterikatan emosional dengan hiloi. Alat makan ini hadir dalam makan keluarga, upacara adat, bahkan acara gereja. Ketika seseorang meninggal, keluarga akan menyajikan papeda dengan hiloi sebagai simbol perpisahan yang penuh hormat," ujarnya.
Proses pembuatan hiloi tidak sembarangan. Kayu yang digunakan biasanya berasal dari pohon tertentu seperti matoa (Pometia pinnata), yang dipilih karena kekuatan dan kehalusan seratnya. Prosesnya dilakukan secara manual oleh pengrajin yang mewarisi keterampilan dari generasi sebelumnya.
Festival Sejuta Hiloi: Revitalisasi Budaya Sentani
Pada Juni 2025, masyarakat Kabupaten Jayapura akan merayakan keberadaan hiloi dalam sebuah acara budaya berjudul Festival Budaya Sejuta Hiloi. Festival ini akan diadakan di Kampung Ebungfa, Distrik Ebungfauw, sebagai upaya melestarikan warisan budaya tak benda dan memperkuat identitas lokal Suku Sentani.
Festival yang diprakarsai bersama masyarakat Kampung Ebungfa diharapkan menjadi forum untuk menggali, merayakan, dan memperkenalkan kembali makna hiloi kepada masyarakat, terutama generasi muda. Masyarakat tidak hanya diajak menyaksikan pertunjukan budaya, tetapi juga berpartisipasi dalam lokakarya pembuatan hiloi, atraksi tradisional, dan pameran kuliner lokal.
Rapat koordinasi yang diadakan pada akhir April 2025 mempertemukan tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, pemuda, dan perwakilan komunitas budaya. Rapat membahas aspek teknis pelaksanaan festival, pembentukan panitia, dan pembagian peran masing-masing pihak.
"Tujuan utama kami adalah membangun kesadaran bahwa hiloi bukan benda museum. Ia masih hidup, digunakan, dan harus diwariskan secara aktif. Karena itu, festival ini dirancang sebagai forum pembelajaran dan pertemuan lintas generasi," tegas Fredrik Modouw.
Festival ini akan menampilkan serangkaian kegiatan, termasuk atraksi budaya dan upacara adat, seperti prosesi makan papeda bersama menggunakan hiloi dan pertunjukan seni tradisional, seperti tari yosim pancar dan nyanyian rakyat. Akan ada juga lomba makan papeda cepat, pembuatan hiloi, dan bercerita tentang legenda Sentani, serta lokakarya interaktif tentang teknik ukir dan membentuk hiloi dan hote.
Festival ini juga akan menampilkan pameran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan produk kuliner lokal, memamerkan produk kerajinan tangan, makanan berbasis sagu dan ikan, dan produk hutan bukan kayu, serta panggung rakyat, tempat anak muda Sentani mengekspresikan kreativitas mereka melalui puisi, musik akustik, dan drama.
Regenerasi Budaya di Tengah Globalisasi
Di tengah globalisasi yang membawa pengaruh budaya asing yang kuat, hiloi menjadi salah satu simbol budaya yang berisiko ditinggalkan. Banyak anak muda Papua, terutama di daerah perkotaan, tidak familiar dengan fungsi dan makna hiloi.
“Anak-anak sekarang harus tahu bahwa sebelum ada sendok dan garpu dari pabrik, orang tua kita hidup selaras dengan alat makan buatan sendiri. Mereka tidak hanya makan tetapi merasakan kehadiran leluhur mereka melalui hiloi,” ujar Orgenes Monim.
Festival Sejuta Hiloi diharapkan menjadi momentum penting untuk menghidupkan kembali tradisi ini. Dengan pendekatan partisipatif, festival ini berupaya memastikan bahwa anak muda tidak hanya terlibat sebagai penonton, tetapi juga sebagai pelaku dan pewaris budaya. Panitia festival akan melibatkan siswa dari berbagai sekolah di Distrik Ebungfauw dan sekitarnya, memberi mereka kesempatan belajar dari pengrajin, tampil di panggung budaya, dan berpartisipasi dalam lomba.
Festival ini tidak hanya upaya pelestarian budaya, tetapi juga bagian dari strategi pengembangan wisata berbasis budaya di Kabupaten Jayapura. Potensi wisata budaya di sekitar Danau Sentani sangat besar, tetapi belum dikembangkan secara optimal.
"Dengan memperkenalkan hiloi sebagai simbol budaya Sentani, kita juga menciptakan merek lokal yang unik. Wisatawan datang tidak hanya untuk melihat danau, tetapi juga untuk merasakan tradisi makan papeda langsung dari dapur masyarakat adat," kata Modouw.
Festival Budaya Sejuta Hiloi diharapkan menjadi agenda tahunan yang dapat dimasukkan dalam kalender acara budaya Papua. Selain memperkuat identitas masyarakat, festival ini akan membuka peluang ekonomi baru bagi pengrajin, petani sagu, nelayan tradisional, dan UMKM lokal.
Kampung Ebungfa dipilih sebagai tuan rumah karena dianggap masih menjaga tradisi. Warga hidup di tepi danau, masih menggunakan peralatan tradisional dalam kehidupan sehari-hari, dan berkomitmen kuat untuk melestarikan budaya.
"Ebungfa adalah contoh kampung yang tidak terputus dari akar tradisionalnya. Kami ingin mengangkat mereka sebagai model regenerasi budaya organik," kata Modouw.
Bagi masyarakat Ebungfa, festival ini bukan hanya perayaan, tetapi juga tanggung jawab untuk menunjukkan kepada dunia bahwa budaya Papua tidak hilang, punah, atau usang. Ia hidup dalam kesunyian dapur, dalam berbagi papeda, dan di tangan-tangan yang penuh kasih sayang membuat hiloi. Hiloi membawa pesan mendalam bahwa budaya adalah warisan bersama yang harus dijaga, dihargai, dan diwariskan.
Melalui Festival Sejuta Hiloi, masyarakat Kabupaten Jayapura menulis ulang narasi budaya mereka, bukan sebagai masa lalu yang terlupakan, tetapi sebagai warisan yang dibawa ke masa depan.