Strategi Cerdas Indonesia Hadapi Tarif Impor AS 32 Persen: Diplomasi, Diversifikasi, dan Dukungan Domestik
Akademisi UGM, Muhammad Edhie Purnawan, menyarankan strategi campuran diplomasi ekonomi, diversifikasi pasar, dan dukungan domestik untuk menghadapi tarif impor 32 persen dari AS.

Sleman, 8 April 2025 - Pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan berupa tarif impor 32 persen dari Amerika Serikat. Menanggapi hal ini, akademisi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Muhammad Edhie Purnawan, menilai perlu diterapkan strategi campuran untuk menghadapi kebijakan tersebut. Strategi ini meliputi diplomasi ekonomi, diversifikasi pasar ekspor, dan penguatan dukungan di dalam negeri.
Dalam keterangannya di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa, Purnawan menjelaskan bahwa Indonesia perlu memilih jalur diplomatik untuk menghindari retaliasi. Revitalisasi Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) untuk membahas hambatan perdagangan menjadi langkah penting. Hal ini sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo yang menekankan pentingnya hubungan baik yang setara antara Indonesia dan AS, seperti yang disampaikan saat panen padi di Majalengka, 7 April 2025. "Indonesia wajib mempersiapkan diri secermat mungkin, terutama melalui Bank Indonesia, untuk mengendalikan volatilitas mata uang dan mencari cara untuk menyelaraskan kepentingan bersama Indonesia-AS," tegasnya.
Purnawan menambahkan bahwa upaya diplomasi perlu diimbangi dengan langkah-langkah konkret lainnya. Ia menyoroti pentingnya strategi diversifikasi pasar ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Ekspansi pasar ke negara-negara ASEAN, Eropa, Timur Tengah, dan keikutsertaan dalam CPTPP atau BRICS menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan. "Diversifikasi pasar ekspor merupakan strategi exit option dalam teori permainan," ujarnya.
Diplomasi dan Diversifikasi: Strategi Campuran Hadapi Tarif Impor AS
Purnawan menjelaskan bahwa deregulasi non-tariff measures (NTMs), seperti relaksasi persyaratan kandungan lokal untuk perusahaan ICT AS (GE, Apple, Oracle, Microsoft), berpotensi menawarkan insentif fiskal. Insentif ini dapat berupa pemotongan bea masuk, pajak penghasilan, dan PPN, yang diharapkan dapat menarik investasi dari perusahaan-perusahaan AS.
Selain diplomasi dan diversifikasi, dukungan terhadap industri dalam negeri juga krusial. Pemerintah perlu memberikan insentif pajak, pelatihan ulang bagi pekerja, dan stimulus fiskal untuk mendorong konsumsi dalam negeri. Langkah-langkah ini bertujuan untuk menstabilkan ekonomi domestik dan mengurangi dampak negatif dari tarif impor AS.
Lebih lanjut, Purnawan menekankan pentingnya koordinasi dengan negara-negara lain, khususnya di kawasan ASEAN, untuk merespons tantangan perdagangan global secara kolektif. Hal ini penting mengingat ketidakstabilan pasar global yang ditunjukkan oleh penurunan indeks pasar seperti FTSE 100 dan Nikkei 225.
Penguatan Sektor Layanan dan Perjanjian Dagang Baru
Purnawan menyarankan agar Indonesia fokus pada peningkatan perdagangan di sektor jasa, yang dinilai kurang terdampak oleh tarif AS. Penguatan sektor digital dan layanan menjadi peluang besar bagi Indonesia. Selain itu, pencarian perjanjian dagang baru seperti CPTPP dapat memperluas akses pasar dan mengurangi ketergantungan pada AS.
Dari perspektif teori permainan, Purnawan menjelaskan bahwa situasi ini merupakan permainan berulang (repeated game) di mana Indonesia perlu memilih strategi campuran antara kooperasi (diplomasi ekonomi) dan kompetisi (diversifikasi). Negosiasi dapat membantu mencapai keseimbangan yang menguntungkan, sementara diversifikasi menjadi strategi minimax untuk mengurangi risiko jika negosiasi menemui jalan buntu.
Ia juga menyinggung kemungkinan AS menggunakan tarif sebagai langkah awal untuk meningkatkan daya tawar dalam negosiasi. "Jika AS menggunakan tarif sebagai langkah awal Tariff Chaos untuk leverage negosiasi, diikuti oleh tarif resiprokal dan 'Mar-a-Lago Accord' (ide strategik yang dinamai berdasarkan resor milik Donald Trump di Florida, yang muncul sebagai wacana untuk merestrukturisasi sistem perdagangan global), untuk penyesuaian mata uang," katanya.
Komunikasi Terbuka dan Penguatan Kepercayaan Publik
Untuk meyakinkan publik dan pelaku di sektor jasa keuangan, Purnawan menyarankan pemerintah menggunakan kerangka signaling dalam permainan dengan informasi yang tidak lengkap (a signaling framework in games with incomplete information). Komunikasi terbuka tentang rencana pemerintah, seperti diplomasi aktif melalui TIFA, deregulasi NTMs, dan peningkatan impor dari AS, penting untuk menunjukkan kontrol situasi.
Pernyataan Presiden Prabowo, "Kita tenang, kita punya kekuatan," perlu diperkuat dengan data untuk meyakinkan masyarakat. Purnawan juga menyarankan agar pemerintah mempelajari peluang pasar, seperti pangsa pasar untuk pakaian dan alas kaki, serta potensi relokasi investasi.
Kebijakan stabilisasi nilai tukar menggunakan DHE, menurut Purnawan, dapat menjawab kritik USTR soal retention rigidities, menunjukkan fleksibilitas dan kekuatan Indonesia. Koordinasi dengan ASEAN dan negara-negara besar lainnya untuk aksi kolektif juga sangat penting untuk mengurangi tekanan isolasi.
Dalam menghadapi pasar global yang bergejolak, pemerintah perlu menjelaskan bagaimana Indonesia bersiap menghadapi tantangan eksternal, termasuk volatilitas indeks seperti S&P 500 dan Dow Jones. "Dalam teori permainan, hal ini cukup penting (ini dinamai signaling game), bagi pemerintah untuk membangun reputasi yang lebih kredibel agar kepercayaan publik dan investor terjaga, sehingga kita mampu mempertahankan stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global," pungkas Muhammad Edhie Purnawan.