Ekonom UI Sarankan Negosiasi, Bukan Perang Tarif, Hadapi Kebijakan AS
Profesor Telisa Aulia Falianty dari FEB UI mengusulkan negosiasi dan reformasi regulasi sebagai solusi atas tarif impor AS terhadap produk Indonesia, alih-alih kebijakan retaliatif yang kontraproduktif.

Jakarta, 6 April 2024 (ANTARA) - Amerika Serikat memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen terhadap sejumlah produk Indonesia. Hal ini dipicu oleh tuduhan manipulasi kurs dan penerapan hambatan non-tarif oleh pemerintah Indonesia. Sebagai respons, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Prof. Telisa Aulia Falianty, menyarankan pendekatan yang lebih strategis daripada kebijakan retaliatif berupa kenaikan tarif balasan.
Menurut Prof. Telisa, langkah retaliatif justru kontraproduktif dan berpotensi memperburuk hubungan dagang bilateral. Ia menekankan pentingnya negosiasi, reformasi regulasi dalam negeri, dan penguatan daya saing produk ekspor Indonesia sebagai solusi yang lebih efektif. "Jangan sampai kebijakan tarif balasan justru membuat ekspor kita makin tertekan. Solusinya ada di negosiasi, reformasi regulasi, dan diversifikasi pasar ekspor," tegas Prof. Telisa dalam keterangannya di Jakarta.
Penegasan tersebut disampaikan mengingat potensi trade diversion atau pengalihan perdagangan dari negara-negara seperti Tiongkok yang kini menghadapi hambatan ekspor ke AS. Namun, Indonesia belum tentu menjadi tujuan utama pengalihan ekspor tersebut. Substitusi pasar ekspor dari AS, menurut Prof. Telisa, biasanya diarahkan ke negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, atau Uni Eropa. Indonesia, meskipun mungkin menjadi pilihan, bukanlah prioritas utama.
Negosiasi dan Reformasi Regulasi: Kunci Menghadapi Tarif Impor AS
Prof. Telisa menyoroti pentingnya negosiasi sebagai langkah utama dalam menghadapi kebijakan tarif impor AS. Ia menekankan perlunya pemerintah Indonesia untuk menunjukkan komitmen dalam menyederhanakan hambatan non-tarif dan membuktikan tidak adanya manipulasi kurs. "Jika ingin menurunkan tarif masuk ke AS, maka kita harus menunjukkan upaya untuk menyederhanakan hambatan non-tarif dan membuktikan tidak ada manipulasi kurs," ujarnya.
Selain negosiasi, reformasi regulasi di dalam negeri juga menjadi kunci. Reformasi ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia agar tetap kompetitif di pasar internasional, meskipun menghadapi tarif impor yang tinggi. Penguatan daya saing ini mencakup berbagai aspek, mulai dari efisiensi produksi hingga kualitas produk.
Pemerintah juga perlu mengantisipasi kemungkinan masuknya barang impor dalam jumlah besar sebagai dampak dari kebijakan AS. Hal ini memerlukan penguatan instrumen pengamanan pasar domestik tanpa menciptakan hambatan yang dianggap diskriminatif secara internasional. Penting untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan pasar domestik dan kepatuhan terhadap aturan perdagangan internasional.
Diversifikasi Pasar dan Diplomasi Multilateral
Prof. Telisa juga menyarankan diversifikasi pasar ekspor sebagai strategi untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS. Dengan memperluas pasar ekspor ke negara-negara lain, Indonesia dapat mengurangi dampak negatif dari kebijakan tarif impor AS. Sektor-sektor seperti minyak sawit dan tekstil, yang masih memiliki permintaan tinggi di pasar AS, dapat menjadi jembatan untuk menjaga komunikasi dagang tetap terbuka.
Indonesia, sebagai anggota ASEAN, BRICS, dan G20, perlu memaksimalkan jalur diplomasi multilateral untuk merespons dinamika global. Meskipun Presiden Donald Trump cenderung mendorong kesepakatan bilateral, langkah kolektif di tingkat kawasan tetap penting untuk menciptakan posisi tawar yang lebih kuat. "Multilateral diplomacy harus tetap berjalan. Tapi di saat yang sama, pemerintah perlu menyiapkan kebijakan sektoral untuk meningkatkan daya saing industri nasional," kata Prof. Telisa.
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah perlu mengoptimalkan strategi yang komprehensif. Hal ini meliputi negosiasi yang intensif dengan AS, reformasi regulasi untuk meningkatkan daya saing, diversifikasi pasar ekspor, dan penguatan diplomasi multilateral. Dengan pendekatan yang terintegrasi ini, Indonesia dapat meminimalkan dampak negatif dari kebijakan tarif impor AS dan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kesimpulannya, strategi yang tepat untuk menghadapi kebijakan AS adalah dengan fokus pada negosiasi, reformasi regulasi, dan diversifikasi pasar. Dengan demikian, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan meningkatkan daya saing produk ekspornya di pasar global.