Terungkap! Biaya Komitmen Kasus Korupsi Kuota Haji Capai Rp115 Juta, KPK Dalami Modus Penentuan Kuota
KPK membongkar praktik biaya komitmen hingga 7.000 dolar AS dalam kasus korupsi kuota haji 2023-2024. Penyelidikan terus berlanjut, mengungkap modus penentuan kuota yang merugikan negara.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkap adanya biaya komitmen atau ikatan perjanjian yang signifikan dalam kasus dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024. Nominal biaya komitmen ini berkisar antara 2.600 hingga 7.000 dolar Amerika Serikat per kuota haji. Angka tersebut menunjukkan potensi kerugian besar yang ditimbulkan dari praktik tidak sah ini.
Pengungkapan ini disampaikan langsung oleh Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Kamis (15/8). Asep menjelaskan bahwa biaya yang diduga disetorkan oleh agensi perjalanan haji untuk mendapatkan kuota haji khusus bervariasi. Perbedaan nominal ini bergantung pada berbagai faktor, termasuk penjualan dan rekam jejak agensi.
Kasus dugaan korupsi kuota haji ini telah menjadi sorotan publik dan lembaga penegak hukum. KPK terus mendalami modus operandi yang digunakan dalam penentuan kuota haji. Penyelidikan ini diharapkan dapat mengungkap seluruh pihak yang terlibat dan mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan.
Modus Operandi Biaya Komitmen Kuota Haji
Asep Guntur Rahayu menjelaskan bahwa perbedaan biaya komitmen yang mencapai 7.000 dolar AS disebabkan oleh beberapa faktor. Agensi perjalanan haji yang lebih besar, dengan layanan yang mungkin lebih baik, cenderung memiliki biaya komitmen yang berbeda. Layanan premium dan fasilitas tambahan seringkali menjadi pembeda.
Lokasi akomodasi di Arab Saudi juga sangat memengaruhi besaran biaya yang disetorkan. Misalnya, agensi yang menawarkan penginapan di sekitar Masjidil Haram tentu akan mematok harga lebih tinggi. Jarak penginapan dari lokasi ibadah juga menjadi pertimbangan utama bagi calon jemaah haji.
Oleh karena itu, variasi harga dari 2.600 hingga 7.000 dolar AS per kuota mencerminkan kompleksitas pasar. Ini juga menunjukkan adanya celah yang dimanfaatkan untuk praktik korupsi. KPK sedang menyelidiki bagaimana biaya komitmen ini memengaruhi distribusi kuota haji.
Perkembangan Penyelidikan dan Kerugian Negara
KPK secara resmi memulai penyidikan perkara dugaan korupsi kuota haji ini pada 9 Agustus 2025. Langkah ini diambil setelah serangkaian pemeriksaan dan pengumpulan bukti. Penyelidikan difokuskan pada penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023-2024.
Sebelumnya, KPK telah meminta keterangan dari mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 7 Agustus 2025. Permintaan keterangan ini merupakan bagian dari upaya KPK untuk mendapatkan informasi komprehensif. KPK juga telah berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung kerugian keuangan negara.
Pada 11 Agustus 2025, KPK mengumumkan penghitungan awal kerugian negara dalam kasus ini. Angka kerugian diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 triliun. Sebagai tindak lanjut, KPK juga telah mencegah tiga orang untuk bepergian ke luar negeri, salah satunya adalah mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas. Tindakan ini diambil untuk memastikan kelancaran proses penyelidikan.
Kejanggalan Pembagian Kuota Haji Tambahan
Selain penyelidikan oleh KPK, Pansus Angket Haji DPR RI juga menemukan sejumlah kejanggalan. Kejanggalan ini terjadi dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024. Temuan pansus ini menambah daftar masalah yang perlu diatasi dalam tata kelola haji.
Titik poin utama yang disorot oleh pansus adalah perihal pembagian kuota 50:50. Pembagian ini berasal dari alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi. Kementerian Agama saat itu membagi kuota tambahan tersebut menjadi 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Pembagian ini dinilai tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019. Undang-undang tersebut mengatur bahwa kuota haji khusus seharusnya sebesar 8 persen. Sementara itu, 92 persen sisanya diperuntukkan bagi kuota haji reguler. Ketidaksesuaian ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.