Tes Kehamilan di Sekolah: Diskriminasi Terhadap Perempuan?
Alissa Wahid mengkritik kebijakan tes kehamilan di SMA Sulthan Baruna, Cianjur, yang dianggapnya sebagai tindakan diskriminatif dan melanggar privasi siswa perempuan.

Kasus dugaan tes kehamilan di SMA Sulthan Baruna, Cianjur, Jawa Barat, baru-baru ini menjadi sorotan publik. Alissa Wahid, Ketua PBNU Bidang Kesejahteraan Masyarakat, secara tegas menyatakan kebijakan tersebut sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Peristiwa ini viral setelah beredar video yang memperlihatkan siswi-siswi mengantre untuk menjalani tes tersebut.
Mengapa kebijakan ini menuai kritik? Alissa Wahid menjelaskan bahwa tes kehamilan merupakan hal yang sangat pribadi dan seharusnya tidak dilakukan di lingkungan sekolah. Tindakan ini, menurutnya, menunjukkan kurangnya kepercayaan sekolah terhadap siswinya. Hal ini disampaikan Alissa dalam pernyataan di Jakarta, Jumat lalu.
Bagaimana kronologi kejadian? Awalnya, beredar video di media sosial yang menampilkan siswi SMA Sulthan Baruna tengah mengikuti antrean untuk tes yang diklaim sebagai tes urine. Namun, Kepala Sekolah, Sarman, dalam beberapa wawancara memberikan keterangan yang berbeda-beda. Pernyataan tersebut berkisar antara menyebutnya sebagai tes urine dan mengakui bahwa itu merupakan tes kehamilan yang telah berlangsung selama dua tahun.
Dampak kebijakan ini? Alissa Wahid menekankan bahwa ketidakpercayaan sekolah terhadap siswinya menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi perkembangan mereka. Anak-anak, menurutnya, membutuhkan lingkungan yang mendukung dan percaya pada kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang tepat. Alih-alih melakukan tes kehamilan, Alissa menyarankan pihak sekolah untuk memberikan edukasi dan dukungan yang lebih baik bagi siswinya agar mereka dapat menjaga diri sendiri.
Kesimpulannya? Tes kehamilan di sekolah dinilai sebagai tindakan diskriminatif dan melanggar privasi. Alissa Wahid mengusulkan agar pihak sekolah lebih fokus pada edukasi dan pendampingan siswi, daripada melakukan tindakan yang justru merusak kepercayaan dan menciptakan stigma negatif.
Pernyataan Alissa Wahid ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai etika dan tanggung jawab sekolah dalam melindungi privasi siswanya. Kepercayaan dan lingkungan yang kondusif seharusnya menjadi prioritas utama dalam menciptakan suasana belajar yang optimal.