Aisyiyah Tegaskan: Sunat Perempuan Lebih Banyak Mudharat, Kampanye Edukasi Digencarkan
Pimpinan Pusat Aisyiyah kembali menegaskan penolakannya terhadap sunat perempuan karena lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya dan menggencarkan kampanye edukasi untuk menghentikan praktik tersebut.
Jakarta, 7 Februari 2024 - Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah kembali menegaskan sikapnya yang menentang praktik sunat perempuan. Organisasi perempuan terbesar di Indonesia ini menyatakan bahwa sunat perempuan lebih banyak menimbulkan mudharat daripada manfaat, dan menyerukan penghentian praktik tersebut.
Dampak Buruk Sunat Perempuan dan Seruan Aisyiyah
Sekretaris Umum PP Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, dalam pernyataan resminya menekankan bahwa sunat perempuan merupakan tindakan merugikan yang telah diakui dunia internasional. Meskipun demikian, praktik ini masih marak di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan bertepatan dengan peringatan Hari Tanpa Toleransi terhadap Pelukaan dan Pemotongan Genital Perempuan (P2GP) pada 6 Februari.
Menurut Tri Hastuti, praktik sunat perempuan di Indonesia berakar pada faktor budaya dan pemahaman agama yang keliru. Oleh karena itu, Aisyiyah gencar melakukan edukasi masyarakat untuk menghentikan praktik ini. Upaya edukasi ini difokuskan pada tokoh agama dan masyarakat, karena mereka memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik.
Selain edukasi, Aisyiyah juga berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan untuk mensosialisasikan isu sunat perempuan kepada kader-kader Aisyiyah di berbagai provinsi. Kerja sama ini diharapkan dapat memperkuat peran kader dalam memberikan edukasi di tingkat masyarakat.
Fatwa Muhammadiyah dan Analisis Hadis Lemah
Ketua PP Aisyiyah Bidang Majelis Tabligh dan Ketarjihan, Siti Aisyah, menambahkan bahwa Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa terkait khitan perempuan dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2. Fatwa tersebut menyatakan bahwa hadis yang menjadi dasar praktik sunat perempuan lemah dan tidak ada dalil yang kuat untuk mendukungnya. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan dampak negatifnya, sunat perempuan tidak dianjurkan, bahkan tidak diwajibkan.
Siti Aisyah menjelaskan bahwa keputusan ini telah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kesehatan, sosial budaya, dan aspek keagamaan. Ia juga memberikan contoh beberapa dalil lemah yang sering digunakan untuk membenarkan praktik sunat perempuan. Salah satunya adalah tafsir keliru dari surat An-Nisa ayat 125 tentang millah Ibrahim, yang oleh sebagian ulama diartikan sebagai perintah khitan. Padahal, para mufassir menjelaskan bahwa millah Ibrahim merujuk pada ajaran tauhid, bukan praktik khitan.
Contoh lainnya adalah hadis dari Ummu Athiyah tentang khitan perempuan di Madinah. Hadis ini dinilai lemah karena adanya perawi yang tidak diketahui asal-usulnya (majhul). Dengan demikian, Aisyiyah secara tegas menolak praktik sunat perempuan karena minimnya dasar keagamaan dan dampak negatifnya bagi kesehatan perempuan.
Kesimpulan: Perlunya Edukasi dan Perubahan Sikap
Aisyiyah menekankan pentingnya edukasi dan perubahan sikap masyarakat untuk menghentikan praktik sunat perempuan. Dengan menggandeng berbagai pihak, termasuk pemerintah dan tokoh masyarakat, diharapkan upaya ini dapat memberikan dampak positif dan melindungi kesehatan perempuan Indonesia. Perlu adanya pemahaman yang lebih komprehensif dan berbasis bukti ilmiah untuk menanggulangi praktik yang merugikan ini.