TNI Harus Punya Peran Besar dalam Pertahanan Siber, Kata IDCI
Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI) menilai TNI perlu mengambil peran utama dalam pertahanan siber nasional, mengingat ancaman siber modern yang semakin kompleks.

Direktur Eksekutif Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI), Yayang Ruzaldy, menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus memiliki peran yang lebih besar dalam memperkuat pertahanan siber Indonesia. Pernyataan ini disampaikan menanggapi Undang-Undang (UU) TNI yang baru saja disahkan, yang menurutnya hanya memberikan peran militer sebagai 'pembantu' dalam hal pertahanan siber. Hal ini disampaikan Yayang dalam siaran pers resmi yang diterima Antara, Senin (24/3).
Yayang menjelaskan bahwa UU tersebut dinilai kontradiktif dengan kebutuhan strategis Indonesia di tengah transformasi global, di mana peperangan kini tak lagi terbatas pada wilayah fisik. Ia merujuk pada Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan, serta UU No. 3 Tahun 2002 dan UU No. 34 Tahun 2004 yang menetapkan TNI sebagai komponen utama dalam menghadapi ancaman militer. Menurutnya, revisi UU TNI seharusnya mengakomodasi ancaman siber sebagai bagian dari pertahanan nasional, dengan TNI sebagai penanggung jawab utama kedaulatan negara di ranah digital.
Lebih lanjut, Yayang menyoroti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara yang tidak mengklasifikasikan ancaman siber sebagai ancaman militer. Ia berpendapat hal ini perlu ditinjau ulang karena peperangan modern saat ini banyak terjadi di ranah siber, meliputi sabotase digital, pencurian intelijen, dan konflik geopolitik. Ancaman-ancaman tersebut, menurutnya, tidak cukup ditangani oleh lembaga sipil saja.
Peran Lembaga Sipil dan Kekurangannya
Yayang mencontohkan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dengan Perpres No. 28 Tahun 2021 yang berperan dalam kebijakan teknis dan pemulihan insiden siber, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan Perpres No. 174 Tahun 2024 yang mengatur ruang digital dan perlindungan data pribadi. Namun, kedua lembaga tersebut, menurut Yayang, tidak memiliki otoritas atau struktur komando yang memadai untuk merespons serangan siber strategis secara militer. Ia khawatir, jika revisi UU TNI tidak memperkuat peran TNI dalam pertahanan siber, maka Indonesia akan semakin lemah dalam menghadapi peperangan digital, khususnya 5 GW Fifth Generation Warfare.
“Ancaman siber saat ini telah menyerupai karakteristik peperangan modern meliputi sabotase digital, pencurian intelijen dan konflik geopolitik. Ancaman seperti ini tidak lagi cukup ditangani oleh lembaga sipil semata,” jelas Yayang.
Ia menambahkan bahwa ruang siber akan terus menjadi arena yang rentan terhadap campur tangan aktor asing tanpa batas, sementara TNI hanya akan bertindak sebagai pihak yang menunggu diminta bantuan. Kondisi ini, menurutnya, sangat mengkhawatirkan.
Rekomendasi IDCI: Komando Siber Nasional di Bawah TNI
Sebagai rekomendasi, IDCI mengusulkan agar UU TNI dikoreksi untuk memperkuat peran militer dalam pertahanan siber. Yayang menekankan perlunya pembentukan Komando Siber Nasional di bawah TNI, yang memiliki otoritas strategis, operasional, dan taktis dalam menjaga kedaulatan digital negara. Dengan demikian, TNI dapat mengambil peran yang lebih proaktif dan efektif dalam menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks dan berkembang pesat.
Dengan adanya Komando Siber Nasional, diharapkan Indonesia memiliki kemampuan yang lebih kuat untuk menanggulangi berbagai bentuk serangan siber, melindungi infrastruktur kritis, dan menjaga kedaulatan digital negara di tengah persaingan global yang semakin ketat. Hal ini penting untuk memastikan keamanan dan stabilitas nasional di era digital.
Kesimpulannya, peran TNI dalam pertahanan siber sangat krusial dalam menghadapi ancaman-ancaman modern. Pembentukan Komando Siber Nasional di bawah TNI menjadi langkah strategis untuk memperkuat pertahanan siber Indonesia dan menjaga kedaulatan digital negara.