Wamendagri Pastikan Putusan MK Jadi Referensi Utama Revisi UU Pemilu: Apa Saja yang Akan Berubah?
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi rujukan krusial dalam proses revisi UU Pemilu, memicu pertanyaan tentang perubahan apa saja yang akan terjadi.

Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto baru-baru ini memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan menjadi referensi penting dalam upaya revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pernyataan ini disampaikan Bima dalam wawancara khusus di Kantor Berita ANTARA, Pasar Baru, Jakarta, pada Jumat lalu, menegaskan komitmen pemerintah dalam menindaklanjuti amar putusan MK.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) saat ini tengah melakukan kajian mendalam bersama berbagai kementerian dan lembaga terkait, termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Proses kajian ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap aspek revisi selaras dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, guna menghindari potensi gugatan hukum di kemudian hari.
Bima menekankan pentingnya proses revisi yang matang dan tidak terburu-buru, dengan melibatkan partisipasi dari seluruh kalangan masyarakat. Pendekatan inklusif ini diharapkan dapat menghasilkan regulasi pemilu yang lebih kokoh dan mampu merepresentasikan aspirasi publik secara menyeluruh, serta menjaga stabilitas sistem politik nasional.
Aspek-Aspek Krusial dalam Revisi UU Pemilu
Dalam kesempatan tersebut, Bima Arya menjelaskan beberapa aspek utama yang menjadi fokus revisi UU Pemilu. Salah satu poin krusial adalah jenis keserentakan pemilu, mempertimbangkan apakah pemilu akan tetap serentak seperti sebelumnya atau kembali dipisah antara pemilu nasional dan daerah. Diskusi juga mencakup mekanisme pemilihan kepala daerah, apakah tetap langsung oleh rakyat atau kembali melalui DPRD.
Selain itu, aspek penyelenggara pemilu juga menjadi perhatian, dengan pertimbangan apakah lembaga penyelenggara akan bersifat permanen atau ad hoc. Pembahasan ini mencakup upaya untuk memperkuat independensi dan kapasitas penyelenggara pemilu agar dapat menjalankan tugasnya secara profesional dan akuntabel. Setiap opsi akan dikaji secara cermat untuk menemukan formula terbaik bagi sistem demokrasi Indonesia.
Aspek pelembagaan partai politik juga tidak luput dari perbaikan. Isu-isu seperti politik uang dan pendanaan partai politik akan dikaji ulang untuk menciptakan sistem politik yang lebih transparan dan inklusif. Tujuannya adalah membangun sistem yang terbuka, tidak didominasi oleh kelompok tertentu, dan benar-benar merepresentasikan kehendak masyarakat luas.
Implikasi Putusan MK dan Masa Transisi
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 menjadi dasar penting dalam revisi ini, khususnya mengenai keserentakan pemilu yang konstitusional. MK memutuskan bahwa pemilu daerah idealnya diselenggarakan dua hingga dua setengah tahun setelah pemilu nasional rampung. Pemilu nasional mencakup pemilihan anggota DPR RI, DPD RI, serta presiden dan wakil presiden, yang dianggap rampung setelah pelantikan pejabat terpilih.
Putusan MK juga memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional guna mengatur rumusan masa transisi. Hal ini berkaitan dengan masa jabatan kepala/wakil kepala daerah dan anggota DPRD hasil pemilihan 2024, mengingat putusan tersebut akan langsung berlaku untuk Pemilu 2029. Prinsip utamanya adalah memastikan roda pemerintahan dan pelayanan publik tidak terganggu oleh siklus kontestasi politik.
Berbagai opsi mengenai masa transisi ini masih terus dikaji, termasuk kemungkinan penunjukan penjabat kepala daerah atau perpanjangan masa jabatan. Keputusan yang akan diambil harus mampu menjaga kesinambungan pemerintahan dan pelayanan publik tanpa menimbulkan kekosongan kepemimpinan atau ketidakpastian hukum. Proses ini memerlukan kehati-hatian dan pertimbangan yang matang dari semua pihak terkait.
Transparansi dan Keterlibatan Publik dalam Revisi
Wamendagri Bima Arya Sugiarto menegaskan komitmen pemerintah untuk membuka ruang publik seluas-luasnya dalam proses revisi UU Pemilu. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat memberikan pandangan dan masukan, sekaligus memahami substansi perubahan yang akan dilakukan. Keterlibatan publik dianggap krusial untuk memastikan legitimasi dan akseptabilitas regulasi yang dihasilkan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Kemendagri berencana untuk berkeliling ke berbagai kampus dan pemerintahan daerah. Inisiatif ini merupakan upaya aktif untuk menyerap aspirasi dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari akademisi hingga praktisi di tingkat lokal. Dengan demikian, perkembangan revisi dapat terus diperbarui dan disesuaikan dengan kebutuhan serta harapan publik.
Pendekatan partisipatif ini diharapkan dapat memperkaya perspektif dalam perumusan kebijakan dan meminimalkan potensi resistensi di kemudian hari. Transparansi dan dialog yang berkelanjutan menjadi kunci untuk menghasilkan UU Pemilu yang kuat, adil, dan mampu menjawab tantangan demokrasi di masa depan.