Fakta Menarik: Tarif Resiprokal AS Turun, Industri Otomotif RI Tetap Perlu Genjot Daya Saing
Penurunan tarif resiprokal AS untuk otomotif RI menjadi 19% memberi angin segar, namun pengamat ingatkan tantangan daya saing global yang perlu segera diatasi.

Penurunan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap produk otomotif dari Indonesia menjadi 19 persen membawa angin segar bagi sektor ini. Kebijakan yang sebelumnya direncanakan sebesar 32 persen ini berhasil dinegosiasikan. Langkah ini diharapkan dapat meringankan beban biaya ekspor komponen otomotif dari Tanah Air.
Menurut pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, penurunan tarif resiprokal AS ini memberikan ruang bernapas sementara. Ia memperkirakan industri otomotif Indonesia dapat mencapai sekitar 1 miliar dolar AS pada tahun 2024. Hal ini menunjukkan potensi besar sektor ini di pasar global.
Meskipun demikian, Yannes mengingatkan bahwa keringanan ini mungkin bersifat sementara mengingat kebijakan AS dapat berubah sewaktu-waktu. Indonesia juga dihadapkan pada tantangan serius dari negara pesaing di kawasan ASEAN. Daya saing menjadi kunci utama bagi keberlanjutan industri ini.
Angin Segar di Tengah Tantangan Global Tarif Resiprokal AS Otomotif
Pemerintah AS sebelumnya mengusulkan penerapan tarif resiprokal sebesar 32 persen terhadap seluruh produk asal Indonesia, yang dijadwalkan berlaku pada 1 Agustus 2025. Namun, melalui negosiasi intensif antara kedua negara, tarif tersebut berhasil diturunkan menjadi 19 persen. Kesepakatan ini juga mencakup sejumlah komitmen dagang signifikan.
Komitmen dagang tersebut meliputi pembelian energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS dan produk pertanian sebesar 4,5 miliar dolar AS. Selain itu, Indonesia juga berkomitmen membeli 50 unit pesawat Boeing, mayoritas model Boeing 777. Penurunan tarif ini secara langsung akan membantu efisiensi biaya ekspor komponen otomotif Indonesia ke pasar AS.
Yannes Martinus Pasaribu menekankan bahwa meskipun penurunan tarif ini menguntungkan, industri otomotif Indonesia tidak boleh terlena. Potensi perubahan kebijakan AS, terutama di bawah pemerintahan yang berbeda, menjadi faktor risiko yang patut diwaspadai. Oleh karena itu, strategi jangka panjang sangat diperlukan untuk menghadapi dinamika ini.
Mengukur Daya Saing Otomotif RI di Kancah ASEAN
Indonesia masih menghadapi persaingan ketat dari negara-negara tetangga di ASEAN, seperti Thailand dan Vietnam. Vietnam, yang dikenakan tarif ekspor 20 persen, menunjukkan efisiensi produksi yang lebih baik berkat pabrik mobil listrik VinFast. VinFast telah berhasil bersaing secara global, menunjukkan kemajuan teknologi yang signifikan.
Di sisi lain, Thailand telah lama dikenal sebagai basis produksi otomotif utama di Asia Tenggara, meskipun dikenakan tarif lebih tinggi (36 persen). Negeri Gajah Putih ini memiliki infrastruktur industri komponen yang sangat matang dan terintegrasi. Hal ini memberikan keunggulan kompetitif yang sulit ditandingi dalam waktu singkat.
Yannes menilai bahwa sektor otomotif Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam meningkatkan efisiensi dan daya saing. Dibandingkan Thailand dan Vietnam, industri otomotif Indonesia dinilai belum cukup terintegrasi dan efisien. Kondisi ini menyulitkan Indonesia untuk mengimbangi dinamika perdagangan global yang berubah cepat.
Keberlanjutan pertumbuhan sektor otomotif nasional sangat bergantung pada peningkatan teknologi, efisiensi produksi, dan strategi ekspor yang adaptif. Reformasi industri otomotif perlu dipercepat agar Indonesia mampu bersaing secara berkelanjutan di pasar internasional. Ini adalah langkah krusial untuk menghadapi fluktuasi kebijakan global.
Sebagai perbandingan, beberapa negara lain di kawasan juga dikenakan tarif resiprokal oleh AS:
- Malaysia: 25 persen
- Vietnam: 20 persen (dan 40 persen untuk transhipment)
- Thailand: 36 persen