Tarif Resiprokal AS: Celios Prediksi Resesi Ekonomi Indonesia di 2025
Kebijakan tarif resiprokal AS sebesar 32 persen berpotensi memicu resesi ekonomi Indonesia pada kuartal IV 2025, terutama sektor otomotif dan elektronik.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, memprediksi kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia sebesar 32 persen dapat mengakibatkan resesi ekonomi pada kuartal IV tahun 2025. Pernyataan ini disampaikan Bhima saat dihubungi ANTARA di Jakarta pada Kamis, 3 April 2024. Kebijakan ini diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump dan berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia, tidak hanya pada kuantitas ekspor ke AS, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak negatif berkelanjutan pada volume ekspor ke negara lain.
Dampak kenaikan tarif ini, menurut Bhima, akan sangat terasa pada sektor otomotif dan elektronik Indonesia. Konsumen AS akan menanggung beban tarif yang lebih tinggi, menyebabkan harga kendaraan bermotor meningkat dan penjualan menurun di pasar AS. Hal ini memiliki korelasi langsung dengan perekonomian Indonesia; setiap penurunan 1 persen pertumbuhan ekonomi AS akan mengakibatkan penurunan 0,08 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Lebih lanjut, Bhima menjelaskan bahwa produsen otomotif Indonesia akan kesulitan beralih ke pasar domestik karena spesifikasi kendaraan ekspor dan domestik berbeda. Konsekuensinya, kemungkinan besar akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penurunan kapasitas produksi di seluruh industri otomotif dalam negeri. Situasi ini bukan hanya terbatas pada sektor otomotif dan elektronik, tetapi juga berdampak pada industri padat karya seperti pakaian jadi dan tekstil.
Dampak pada Sektor Otomotif, Elektronik, dan Industri Padat Karya
Kenaikan tarif resiprokal akan memaksa merek-merek global asal AS untuk mengurangi jumlah pesanan atau pemesanan ke pabrik-pabrik di Indonesia. Kondisi ini akan semakin diperparah dengan masuknya produk-produk dari negara lain seperti Vietnam, Kamboja, dan China yang akan mengisi pasar alternatif yang ditinggalkan. Bhima menekankan bahwa dampaknya akan meluas dan signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Industri otomotif akan menghadapi tantangan besar dalam menyesuaikan diri dengan perubahan pasar. Perbedaan spesifikasi antara kendaraan ekspor dan domestik akan menghambat upaya peralihan pasar. Sementara itu, industri padat karya seperti tekstil dan pakaian jadi akan menghadapi penurunan permintaan dari merek-merek global yang terdampak kenaikan tarif.
Persaingan dengan negara-negara lain seperti Vietnam, Kamboja, dan China juga akan semakin ketat. Negara-negara tersebut akan berusaha mengisi pasar yang ditinggalkan oleh produk-produk AS, sehingga industri dalam negeri harus bersaing lebih keras untuk mempertahankan pangsa pasar.
Solusi Menghadapi Tarif Resiprokal AS
Bhima menyarankan beberapa solusi agar Indonesia dapat meminimalisir dampak negatif dari tarif resiprokal AS. Pemerintah perlu fokus pada upaya menarik relokasi pabrik dengan menyediakan regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, kesiapan infrastruktur pendukung kawasan industri, serta sumber energi terbarukan yang memadai untuk memasok listrik ke industri. Kesiapan sumber daya manusia yang terampil juga menjadi faktor kunci untuk menghadapi tantangan ini.
Pemerintah perlu menciptakan iklim investasi yang menarik bagi investor asing, sehingga mereka tertarik untuk merelokasi pabrik mereka ke Indonesia. Hal ini memerlukan penyederhanaan birokrasi, pengurangan hambatan investasi, dan peningkatan infrastruktur pendukung industri. Selain itu, pemerintah juga perlu fokus pada pengembangan sumber daya manusia yang terampil dan sesuai dengan kebutuhan industri.
Dengan meningkatkan daya saing industri dalam negeri, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada ekspor ke AS dan mengurangi dampak negatif dari tarif resiprokal. Pengembangan sektor-sektor ekonomi lain juga penting untuk mengurangi risiko resesi ekonomi.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif hingga 32 persen terhadap barang-barang Indonesia yang masuk ke AS. Indonesia termasuk dalam daftar sekitar 60 negara yang terkena dampak kebijakan ini. Negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand juga terkena dampak serupa, dengan kenaikan tarif bervariasi.
Kesimpulan
Ancaman resesi ekonomi akibat tarif resiprokal AS perlu dihadapi dengan strategi yang komprehensif. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengurangi dampak negatif dan memperkuat daya saing industri dalam negeri. Diversifikasi pasar ekspor dan pengembangan sektor-sektor ekonomi lain juga menjadi hal yang krusial untuk menghadapi tantangan ini.