Kebijakan Tarif AS: Ancaman bagi Industri TI Indonesia?
Kebijakan tarif resiprokal AS berpotensi melemahkan industri teknologi informasi Indonesia karena keterbatasan produksi lokal dan peningkatan harga impor akibat pelemahan rupiah.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) yang diumumkan Presiden Donald Trump pada 2 April 2025, dan berlaku efektif mulai 5 April 2025, berpotensi melemahkan sektor telekomunikasi dan teknologi informasi (TI) di Indonesia. Ekonom Nailul Huda dari Celios dan pengamat telekomunikasi Heru Sutadi mengungkapkan kekhawatiran ini. Dampaknya terasa karena ketergantungan Indonesia pada impor komponen utama dan kemampuan produksi lokal yang masih terbatas. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan penurunan ekspor dan peningkatan persaingan dari produk impor.
Kebijakan tarif ini, khususnya tarif 32 persen untuk Indonesia, menimbulkan kekhawatiran akan penurunan daya saing produk TI dalam negeri di pasar internasional dan domestik. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akibat kebijakan ini juga menjadi faktor yang memperparah situasi. Kenaikan harga impor komponen utama, seperti chip, yang tidak diproduksi di dalam negeri, akan berdampak pada peningkatan harga produk TI dan menghambat pertumbuhan sektor ini.
Kedua pengamat sepakat bahwa pemerintah perlu mengambil langkah cepat untuk mengurangi dampak negatif kebijakan tarif AS ini. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya dampak yang lebih luas, termasuk potensi penurunan daya beli masyarakat terhadap produk TI dan bahkan potensi krisis ekonomi seperti tahun 1998. Mereka menekankan perlunya negosiasi dengan AS dan membangun koalisi dengan negara lain untuk memperkuat posisi tawar Indonesia.
Ancaman bagi Industri TI Dalam Negeri
Nailul Huda menekankan bahwa industri TI dalam negeri masih belum mampu memproduksi komponen utama secara mandiri. Akibatnya, kebijakan tarif impor AS akan sangat memukul industri ini. Penurunan permintaan ekspor dari AS akan membuat produk dalam negeri kesulitan mencari pasar alternatif, sementara pasar domestik berisiko dibanjiri produk impor dari negara lain yang juga terkena dampak kebijakan tarif tersebut. "Ini yang mengkhawatirkan bahwa industri kita tertekan dari ekspor yang turun, tapi produk dari negara lain bisa masuk ke dalam negeri," ujarnya.
Lebih lanjut, Huda menyoroti potensi pelemahan nilai tukar rupiah sebagai dampak lain yang perlu diwaspadai. Kenaikan harga impor akibat pelemahan rupiah akan semakin menghambat pertumbuhan sektor teknologi. Ia menyarankan pemerintah untuk segera melakukan negosiasi dengan AS dan membangun koalisi dengan negara lain, seperti melalui BRICS, untuk memperkuat posisi tawar Indonesia. "BRICS bisa menjadi salah pintu masuk. Selain itu, genjot industri TI atau teknologi dalam negeri kita dengan insentif dan sebagainya," tambahnya.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan kebijakan non-tarif yang diterapkan AS, yang juga menghambat produk Indonesia masuk ke pasar AS. Strategi membangun koalisi dan memberikan insentif bagi industri TI dalam negeri menjadi solusi yang diusulkan untuk menghadapi tantangan ini.
Dampak terhadap Telekomunikasi dan Nilai Tukar Rupiah
Heru Sutadi menambahkan bahwa kebijakan tarif resiprokal AS juga berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ia mengingatkan angka psikologis Rp17.000 per dolar AS dan potensi dampak negatif jika rupiah terus tertekan hingga menembus Rp20.000 per dolar AS. Pelemahan rupiah akan berdampak signifikan pada sektor telekomunikasi, mengingat sebagian besar peralatan telekomunikasi diimpor dari luar negeri.
Heru menjelaskan bahwa pelemahan rupiah dapat menyebabkan banyak proyek telekomunikasi mangkrak dan kesulitan pembayaran kepada vendor. "Banyak proyek mangkrak dan sulit membayar ke vendor karena banyak proyek peralatannya dari luar negeri, yang akan mengikuti pergerakan rupiah. Begitu juga dengan harga-harga perangkat telekomunikasi," katanya. Ia juga mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan dampak jangka panjang, termasuk risiko penurunan daya beli masyarakat terhadap produk TI.
Heru juga memberikan peringatan serius terkait potensi krisis ekonomi, sosial, dan politik yang serupa dengan krisis 1998. "Ini semua menjadi alarm bagi kita potensi krisis ekonomi, krisis sosial dan krisis politik yang terjadi di Indonesia tahun 1998. Harus diwaspadai. Pemerintah harus memperbaiki komunikasi dan tata kelola pemerintahan," tegasnya.
Pemerintah Indonesia perlu segera mengambil langkah strategis untuk mengurangi dampak negatif kebijakan tarif AS ini terhadap industri TI dan telekomunikasi nasional. Hal ini mencakup negosiasi perdagangan, diversifikasi pasar ekspor, dan peningkatan daya saing industri dalam negeri melalui insentif dan dukungan pemerintah.
Kesimpulan
Kebijakan tarif resiprokal AS menimbulkan ancaman serius bagi industri TI dan telekomunikasi Indonesia. Ketergantungan pada impor, kemampuan produksi lokal yang terbatas, dan potensi pelemahan rupiah menjadi faktor utama yang memperparah situasi. Pemerintah perlu mengambil langkah proaktif untuk melindungi industri dalam negeri dan mengurangi dampak negatif kebijakan ini.