20 Tahun Tragedi Leuwigajah: Bencana yang Ubah Cara Indonesia Kelola Sampah
Tragedi longsor sampah Leuwigajah 20 tahun lalu menjadi momentum perubahan paradigma pengelolaan sampah di Indonesia, dari sistem 'kumpul, angkut, buang' menuju pemanfaatan sampah sebagai sumber daya.
Pada 21 Februari 2005, longsor sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, menewaskan 157 orang. Peristiwa ini terjadi akibat hujan lebat yang memicu longsoran sampah dan ledakan gas metana, menimbun dua desa di bawahnya. Tragedi ini menjadi titik balik kesadaran kolektif Indonesia tentang pengelolaan sampah yang selama ini dilakukan secara sembarangan.
Triana Santika, warga Kampung Adat Cireundeu yang rumahnya dekat dengan TPA Leuwigajah, masih mengingat jelas peristiwa tersebut. "Sampah longsor," kata yang selalu terngiang di ingatannya saat ayahnya membangunkannya dini hari itu. Ia menyaksikan langsung proses evakuasi korban, termasuk keluarga yang ditemukan tewas tertimbun sampah, sebuah pemandangan yang tak akan pernah ia lupakan. Tragedi ini juga berdampak langsung pada keluarganya, puluhan kerabat ayahnya menjadi korban.
Dua puluh tahun kemudian, bekas TPA Leuwigajah telah berubah. Tumpukan sampah telah hilang, digantikan oleh pepohonan pisang dan rumput. Alam seakan berusaha memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia. Tragedi ini menjadi pelajaran berharga yang mendorong perubahan pengelolaan sampah di Indonesia.
Mengubah Paradigma Pengelolaan Sampah
Tragedi Leuwigajah mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Di Cimahi, Kampung Adat Cireundeu kini menjadi wilayah konservasi adat, budaya, dan lingkungan. Warga telah menerapkan pemilahan sampah rumah tangga, memisahkan sampah organik dan anorganik. Pemerintah Kota Cimahi juga telah membangun Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sentiong, yang memanfaatkan maggot dan teknologi refuse-derived fuel (RDF) untuk mengolah sampah.
Wakil Walikota Cimahi, Adhitia Yudhistira, berkomitmen untuk mengembalikan wilayah Leuwigajah sebagai hutan bambu. Upaya ini membutuhkan kolaborasi pemerintah pusat, dunia usaha, dan masyarakat. Pemerintah daerah juga telah merancang denah pengelolaan sampah untuk mengatasi isu sampah secara lokal.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menekankan pentingnya perubahan paradigma pengelolaan sampah. "Dari kumpul, angkut, buang, menuju pemanfaatan sampah sebagai sumber daya," ujarnya. Pemerintah pusat mendukung dan memfasilitasi pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah, termasuk memberikan sanksi kepada TPA open dumping yang belum memenuhi standar.
KLH telah menutup beberapa TPA open dumping, seperti TPA Basirih di Banjarmasin dan TPA Burangkeng di Bekasi. Langkah ini diambil untuk mengurangi jumlah sampah yang dibuang secara terbuka. KLH juga telah menginstruksikan penghentian impor sampah plastik dan kertas, serta mendorong pengurangan penggunaan plastik sekali pakai.
Upaya Mengurangi Timbulan Sampah
Pemerintah pusat dan daerah terus berupaya mengurangi timbulan sampah. Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terus dilakukan, termasuk mendorong pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah yang mendukung pengelolaan sampah. Pengurangan dan pembatasan plastik sekali pakai juga terus didorong. Saat ini, baru 114 kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah terkait hal tersebut.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, sebanyak 3.083.633 ton sampah dibuang ke TPA dengan sistem open dumping. Total timbulan sampah mencapai 29,4 juta ton. Berbagai upaya terus dilakukan untuk mencegah terulangnya tragedi Leuwigajah dan mewujudkan lingkungan hidup yang lebih baik.
Tragedi Leuwigajah menjadi tonggak penting dalam sejarah pengelolaan sampah di Indonesia. Peristiwa ini telah mengubah paradigma pengelolaan sampah dari sistem yang sembarangan menuju sistem yang lebih terencana dan berkelanjutan. Dengan kolaborasi berbagai pihak, diharapkan kejadian serupa tidak akan terulang kembali di masa mendatang.