7 Satwa Dilindungi Dilepasliarkan di Gunung Salahutu, Maluku
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku melepasliarkan tujuh satwa dilindungi, termasuk nuri bayan dan ular sanca batik, di kaki Gunung Salahutu setelah melalui proses rehabilitasi, sebagai upaya pelestarian satwa endemik Maluku.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Maluku berhasil melepasliarkan tujuh ekor satwa dilindungi di kaki Gunung Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, pada Senin, 20 Januari 2024. Ini merupakan kabar baik bagi upaya pelestarian satwa endemik Maluku.
Satwa yang dilepasliarkan terdiri dari lima ekor nuri bayan (Edlectus roratus), satu ekor ular sanca batik/kembang (Phyton reticulatus), dan satu ekor ular mono pohon (Candoia carinata). Kepala BKSDA Maluku, Danny H. Pattipeilohy, menjelaskan bahwa satwa-satwa ini merupakan hasil pengawasan dan penjagaan peredaran tumbuhan dan satwa liar (TSL) ilegal.
Asal-usul satwa ini beragam. Beberapa ditemukan di Pelabuhan Laut Yos Sudarso Ambon, lainnya berasal dari translokasi dari Balai KSDA Kalimantan Timur, penyerahan dari Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Ambon, serta sumbangan sukarela dari warga Ambon. Sebelum dilepasliarkan, semua satwa menjalani seleksi kesehatan dan fisik yang ketat.
Proses perawatan dan rehabilitasi dilakukan di Pusat Konservasi Satwa (PKS) Kepulauan Maluku. Danny menambahkan, "Satwa-satwa tersebut dirawat, dikarantina, dan direhabilitasi hingga dipastikan sehat dan kembali memiliki sifat liar sebelum dikembalikan ke habitatnya."
Ia menyampaikan apresiasi kepada seluruh staf, pemangku kepentingan, dan masyarakat yang terlibat dalam proses pelepasliaran ini. Prosesnya memang panjang dan membutuhkan komitmen semua pihak. Pemilihan lokasi pelepasliaran di Kecamatan Salahutu bukan tanpa alasan.
Kawasan hutan di sana berdekatan dengan hutan lindung Gunung Salahutu, yang masih terjaga dengan vegetasi lebat dan tinggi, sehingga ideal sebagai habitat nuri bayan, ular sanca batik, dan ular mono pohon. Ketiga spesies ini penyebarannya merata di wilayah Indonesia Timur, termasuk Maluku dan Papua. Di Maluku, mereka bisa ditemukan di Pulau Ambon, Buru, Seram, dan Kepulauan Aru.
Danny berharap, satwa-satwa ini dapat beradaptasi dan berkembang biak dengan baik di habitat barunya, sehingga meningkatkan populasi mereka di alam liar. Ia juga mengingatkan kembali tentang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Siapapun yang dengan sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, atau memperjualbelikan satwa dilindungi dapat dipidana penjara maksimal lima tahun dan denda Rp100 juta.
Pelepasliaran ini diharapkan menjadi contoh bagi masyarakat untuk turut menjaga kelestarian satwa endemik Maluku dan mencegah kepunahannya. Langkah ini menunjukkan komitmen nyata dalam upaya konservasi alam dan pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia.