Akses Layanan Kesehatan Kunci Eliminasi TBC-HIV hingga 2030, Kata Guru Besar UGM
Guru Besar UGM soroti pentingnya akses layanan kesehatan yang inklusif untuk mencapai target eliminasi TBC dan HIV pada 2030, serta hadapi stigma pada kelompok rentan.
Yogyakarta, 25 Februari 2024 (ANTARA) - Prof. Yanri Wijayanti Subronto, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) bidang Penyakit Tropik dan Infeksi, menekankan pentingnya akses layanan kesehatan yang luas, inklusif, dan berkualitas untuk mencapai target eliminasi Tuberkulosis (TBC) dan pengakhiran AIDS pada tahun 2030. Hal ini disampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Balai Senat UGM, Yogyakarta.
Menurut Prof. Yanri, keberhasilan program tersebut sangat bergantung pada kesiapan tenaga kesehatan dan kemudahan akses layanan kesehatan bagi masyarakat tanpa hambatan. "Satu hal utama yang menurut kami menjadi faktor penentu kesuksesan program adalah akses, di mana akses dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor pasien dan faktor kesiapan tenaga dan fasilitas kesehatan," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa tantangan terbesar dalam penanggulangan TBC-HIV adalah stigma terhadap kelompok rentan seperti pekerja seks, waria, pengguna narkoba suntik, dan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL). Kelompok ini seringkali menghadapi diskriminasi dari masyarakat dan tenaga medis, sehingga menghambat akses mereka terhadap layanan kesehatan yang dibutuhkan.
Tantangan Akses Layanan Kesehatan untuk Kelompok Rentan
Prof. Yanri memaparkan hasil penelitian kolaborasi tim UGM dan Australia yang menunjukkan bahwa ketakutan akan diskriminasi membuat kelompok rentan menunda atau menghindari pemeriksaan dan pengobatan. Hal ini berujung pada keterlambatan diagnosis dan peningkatan risiko penularan. Keterbatasan waktu tenaga kesehatan dalam berkomunikasi dengan pasien, serta stigma di kalangan medis, juga menjadi penghambat utama.
Sebuah studi di Yogyakarta menunjukkan rendahnya pengetahuan tenaga medis terkait HIV, sementara pasien enggan menjalani tes HIV karena takut mengetahui hasilnya. "Penelitian Mahendradhata dkk (2008) di Yogyakarta menunjukkan bahwa pengetahuan pasien maupun tenaga kesehatan terkait HIV masih rendah dan rintangan utama dari pasien untuk tes HIV adalah ketakutan untuk mengetahui hasil tes, sementara rintangan dari tenaga kesehatan adalah terkait waktu untuk komunikasi, stigmatisasi, dan penambahan beban kerja," jelas Prof. Yanri.
Integrasi layanan TBC dan HIV perlu diperkuat untuk layanan yang lebih cepat dan efisien. Strategi yang perlu dikembangkan meliputi pelayanan berbasis komunitas, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, dan pemanfaatan teknologi digital dalam pemantauan pasien.
Strategi Peningkatan Akses dan Layanan
Pelibatan tenaga penjangkau dan pendamping sebaya dinilai efektif menjangkau populasi rentan. Tenaga kesehatan juga perlu pelatihan untuk menangani pasien secara humanis dan tanpa diskriminasi. "Kerja sama antara fakultas, rumah sakit, dengan dinas kesehatan, serta organisasi masyarakat sipil diharapkan dapat meningkatkan akses layanan bagi yang membutuhkan," kata Prof. Yanri.
Mekanisme rujukan yang efisien dibutuhkan agar pasien TBC dapat segera menjalani tes HIV, dan sebaliknya. Pemanfaatan teknologi digital, seperti aplikasi kesehatan atau telemedicine, dapat membantu pemantauan pasien dan kepatuhan terapi.
Hasil penelitian di puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta menunjukkan banyak pasien HIV tidak mendapatkan terapi pencegahan tuberkulosis (TPT), atau tidak menyelesaikannya. Hambatan utamanya meliputi kurangnya edukasi pasien, keterbatasan tenaga kesehatan, kendala logistik distribusi obat, dan kurangnya koordinasi antar instansi.
Perubahan Pola Pikir Masyarakat: Kunci Eliminasi TBC-HIV
Prof. Yanri menegaskan bahwa eliminasi TBC dan HIV tidak hanya bergantung pada kebijakan kesehatan, tetapi juga perubahan pola pikir masyarakat. Pendidikan dan peningkatan kesadaran publik dapat menghilangkan stigma dan mendorong akses layanan kesehatan sejak dini. Pemahaman komprehensif tentang TBC dan HIV penting untuk program yang lebih efektif.
Pelayanan kesehatan berbasis empati dan kemanusiaan sangat dibutuhkan untuk menjangkau mereka yang membutuhkan. "Saatnya kita lebih toleran, lebih tidak menghakimi, dan dapat memberikan layanan dengan pikiran dan hati yang terbuka," tutup Prof. Yanri.