Ambang Batas Parlemen: Antara Demokrasi Inklusif dan Efektivitas Pemerintahan
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden disambut baik, namun wacana serupa untuk parlemen menimbulkan pro-kontra di kalangan politisi dan masyarakat sipil.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus presidential threshold pada awal Januari 2025, sebuah keputusan yang disambut gembira banyak pihak sebagai langkah besar dalam memperkuat demokrasi. Keputusan ini, yang juga diperjuangkan oleh empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menimbulkan perdebatan baru seputar parliamentary threshold atau ambang batas parlemen. Wacana penghapusan ambang batas parlemen ini memicu silang pendapat di berbagai kalangan, mulai dari politisi dan akademisi hingga masyarakat sipil.
Perbedaan pendapat muncul karena penghapusan ambang batas parlemen memiliki konsekuensi yang kompleks. Sebagian pihak berpendapat bahwa ambang batas parlemen penting untuk menjaga efektivitas pemerintahan dan mencegah fragmentasi politik di parlemen. Sementara itu, pihak lain berpendapat bahwa ambang batas tersebut justru menghambat keterwakilan politik yang lebih adil dan suara rakyat menjadi tidak terwakilkan.
Polemik ini semakin menarik perhatian karena parliamentary threshold bukanlah hal baru dalam sistem demokrasi Indonesia. Aturan ini telah beberapa kali diubah sejak pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009, dengan angka yang terus disesuaikan untuk menyeimbangkan inklusivitas politik dan stabilitas pemerintahan. Namun, perdebatan seputar angka ideal dan dampak penghapusannya tetap menjadi isu krusial yang perlu dikaji lebih lanjut.
Dampak Penghapusan Ambang Batas Parlemen
Pakar Politik dan Pemerintahan Universitas Gadah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun, menjelaskan bahwa ambang batas parlemen merupakan kompromi antara inklusivitas demokrasi dan efektivitas pemerintahan. Meskipun suara partai kecil yang tidak memenuhi ambang batas tidak terwakili, aturan ini bertujuan untuk mencegah parlemen yang terlalu terpecah dan sulit dikendalikan.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menambahkan bahwa penghapusan ambang batas parlemen dapat mengganggu efektivitas kerja DPR. Terlalu banyak partai di parlemen dapat menghambat fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran, berdampak pada efektivitas pemerintahan secara keseluruhan. Hal ini menjadi pertimbangan penting dalam perdebatan seputar penghapusan parliamentary threshold.
Pemilu 2024 menunjukkan dampak nyata dari ambang batas 4 persen. Sebanyak 10 partai politik gagal lolos ke parlemen karena tidak memenuhi ambang batas, meninggalkan lebih dari 16 juta suara sah yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR. Data ini menunjukkan jumlah suara yang signifikan tidak terwakili, memicu perdebatan mengenai keadilan dan representasi politik.
Suara Rakyat yang Tak Terwakili
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merilis data partai-partai yang gagal lolos parlemen, antara lain Partai Buruh, Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nusantara, Partai Hanura, Partai Garda Republik Indonesia, Partai Bulan Bintang, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Persatuan Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Ummat. Jumlah suara yang diraih oleh partai-partai ini cukup signifikan, menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dalam sistem representasi politik.
Wakil Ketua MPR, Eddy Soeparno, menyatakan bahwa penerapan ambang batas parlemen menghambat hak pilih masyarakat karena partai-partai dengan perolehan suara cukup besar, seperti PPP dan PSI, tetap gagal masuk parlemen. Beliau berpendapat bahwa penghapusan ambang batas parlemen, sama seperti penghapusan ambang batas pencalonan presiden, merupakan bentuk keadilan demokrasi.
Namun, penghapusan parliamentary threshold bukan satu-satunya solusi yang dipertimbangkan. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, menyarankan pembentuk undang-undang untuk mengkaji ulang besaran angka ambang batas parlemen agar lebih rasional, bukan menghapusnya sepenuhnya. Hal ini menunjukkan upaya mencari keseimbangan antara aspirasi partai kecil dan kebutuhan akan efektivitas pemerintahan.
Mencari Titik Keseimbangan
Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, memperkirakan MK juga akan membatalkan parliamentary threshold. Beliau mengusulkan agar partai kecil yang tidak memenuhi ambang batas minimal dapat membentuk fraksi gabungan untuk tetap memiliki representasi di DPR. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, menegaskan sedang mengkaji dampak penghapusan atau revisi ambang batas parlemen.
Kajian ini melibatkan para ahli tata negara dan pihak internal untuk mengevaluasi dampak kebijakan ini sebelum dibawa ke DPR. Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah parlemen tanpa ambang batas akan memperkuat demokrasi atau justru menimbulkan ketidakstabilan politik? Jika ambang batas dipertahankan, berapa angka yang paling ideal untuk menjaga keterwakilan tanpa mengorbankan efektivitas pemerintahan?
Keputusan mengenai parliamentary threshold akan sangat menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan. Oleh karena itu, kajian yang komprehensif dan berpihak pada kepentingan rakyat sangatlah penting, bukan hanya kepentingan politik sesaat. Pertimbangan yang matang diperlukan untuk memastikan sistem politik Indonesia tetap stabil dan demokratis.