Banjir Jabodetabek: Bencana Berulang yang Butuh Solusi Sistemik
Banjir dan genangan yang terus menerus melanda Jabodetabek disebabkan oleh perubahan tata guna lahan dan rendahnya pengawasan pemerintah, membutuhkan solusi sistemik dan terintegrasi untuk mitigasi dan adaptasi.
Banjir dan genangan kembali melanda Jakarta dan sekitarnya, menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah rawan banjir. Peristiwa ini terjadi karena air hujan tak mampu terserap oleh tanah yang telah banyak berubah menjadi beton, diperparah oleh rob atau pasang air laut. Akibatnya, banjir dan genangan terjadi secara berulang dengan intensitas, luas area terdampak, dan durasi yang semakin meningkat. Mengapa hal ini terjadi? Siapa yang bertanggung jawab? Di mana titik kritisnya? Kapan solusi akan terwujud? Bagaimana cara mengatasinya?
Perubahan tutupan lahan dari lahan hijau menjadi beton merupakan faktor utama penyebab banjir. Rendahnya pengawasan pemerintah daerah dalam menjaga tutupan lahan bervegetasi memperparah kondisi ini. Alih fungsi lahan sawah, pembangunan rumah tapak yang masif, dan kurangnya lahan resapan air menyebabkan air hujan mengalir cepat ke sungai dan menyebabkan banjir. "Motif ekonomi menjadi biang keladinya, tapi yang paling mendasar adalah mental dan komitmen aparat dalam menegakkan aturan tata ruang yang benar," ungkap salah satu peneliti.
Dampak ekonomi sosial dari banjir sangat signifikan. Masyarakat miskin yang tinggal di bantaran sungai paling merasakan dampaknya. Meskipun orang kaya relatif aman, banjir tetap mengganggu mobilitas dan transportasi, menyebabkan kerugian ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat. Banjir juga menyebabkan harga bahan pokok meningkat dan memicu wabah penyakit. Sayangnya, setelah banjir mereda, masalah ini seringkali terlupakan, seakan menjadi ritual tahunan yang tak terselesaikan.
Perubahan Tata Guna Lahan sebagai Pemicu Utama Banjir
Perubahan tata guna lahan dari lahan hijau menjadi kawasan beton merupakan faktor utama yang menyebabkan banjir di Jabodetabek. Alih fungsi lahan sawah menjadi permukiman dan pembangunan rumah tapak yang masif mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air hujan. Akibatnya, air hujan mengalir cepat ke sungai dan menyebabkan banjir. Kurangnya pengawasan dari pemerintah daerah dalam menegakkan aturan tata ruang juga memperparah masalah ini.
Pemerintah pusat juga dinilai belum melakukan moratorium pembangunan rumah tapak, sehingga tutupan lahan bervegetasi semakin berkurang. Hal ini menyebabkan permukaan lahan menjadi kedap air (impermeable), mempercepat aliran air, meningkatkan laju erosi, dan memperparah kerusakan lingkungan. Kondisi ini diperburuk lagi dengan rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan.
Minimnya lahan hijau dan resapan air membuat kapasitas tampung air di Jabodetabek sangat terbatas. Akibatnya, saat hujan deras turun, air hujan tidak dapat terserap dengan baik dan menyebabkan banjir. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya rob atau pasang air laut yang menghambat aliran air sungai ke laut.
Dampak Ekonomi Sosial Banjir Jabodetabek
Banjir Jabodetabek menimbulkan dampak ekonomi sosial yang signifikan, terutama bagi masyarakat miskin yang tinggal di daerah rawan banjir. Kerugian ekonomi meliputi kerusakan harta benda, terganggunya mata pencaharian, dan meningkatnya harga kebutuhan pokok. Banjir juga dapat menyebabkan wabah penyakit dan mengganggu aktivitas sosial masyarakat.
Banjir juga berdampak pada mobilitas dan transportasi. Kemacetan lalu lintas dan terganggunya aksesibilitas menyebabkan kerugian ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat. Biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk penanggulangan banjir juga sangat besar, sementara solusi yang ditawarkan belum mampu mengatasi akar masalahnya.
Selain itu, banjir juga berdampak negatif pada sektor pertanian. Kerusakan lahan pertanian dan terganggunya pasokan bahan pangan menyebabkan harga kebutuhan pokok meningkat. Hal ini semakin memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, terutama bagi mereka yang bergantung pada sektor pertanian.
Mitigasi dan Adaptasi Banjir Jabodetabek: Sebuah Solusi Terintegrasi
Untuk mengatasi masalah banjir di Jabodetabek, diperlukan solusi terintegrasi yang meliputi mitigasi dan adaptasi. Mitigasi difokuskan pada upaya pencegahan banjir, sedangkan adaptasi difokuskan pada upaya penyesuaian terhadap kondisi banjir yang sudah ada.
Salah satu usulan mitigasi adalah moratorium pembangunan rumah tapak dan beralih ke pembangunan rumah vertikal, seperti yang dilakukan di negara-negara maju. Moratorium alih fungsi lahan sawah juga perlu dilakukan untuk menjaga retensi air di hulu. Pemerintah juga perlu mengeluarkan peraturan yang tegas terkait tutupan lahan hijau minimum di setiap wilayah.
Upaya adaptasi dapat dilakukan dengan mengembangkan rumah yang adaptif terhadap banjir dan genangan. Pemerintah perlu menghitung kembali besaran banjir maksimum untuk periode ulang tertentu dan menyusun langkah adaptasi yang sesuai. Pengembangan pilot project rumah adaptif banjir juga perlu dilakukan untuk memberikan contoh bagi masyarakat.
Diperlukan master plan mitigasi dan adaptasi banjir jangka panjang yang terintegrasi dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Master plan ini harus ditetapkan sebagai peraturan daerah dan menjadi pedoman kerja bagi pemerintah daerah dalam mengatasi masalah banjir.
Pemerintah perlu mengumpulkan data dan informasi yang relevan untuk membuat keputusan yang tepat dalam mitigasi dan adaptasi banjir. Tanpa solusi yang menyeluruh, banjir di Jabodetabek akan terus terjadi dan bahkan meningkat besarannya. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk benar-benar mengatasi akar masalah banjir dan bukan hanya sekedar penanggulangan yang bersifat sementara.