Dampak Kebijakan Tarif AS Terbatas bagi Pasar Modal RI: Ekonom Nilai Sentimen Terbatas
Ekonom menilai kebijakan tarif impor AS memberikan dampak terbatas pada pasar modal Indonesia, karena Indonesia kurang bergantung pada ekspor-impor ke AS, meskipun potensi perang tarif perlu diwaspadai.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan kenaikan tarif impor secara resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, pada 2 April 2025. Pengumuman ini memicu gejolak di pasar keuangan global, terutama di negara-negara maju. Namun, ekonom dan praktisi pasar modal, Hans Kwee, menilai dampak kebijakan ini terhadap pasar modal Indonesia relatif terbatas.
Menurut Hans Kwee, Indonesia kurang bergantung pada ekspor-impor ke Amerika Serikat. "Kita kena dampaknya relatif lebih terbatas karena emiten kita yang ekspornya ke Amerika tidak banyak atau dengan kata lain kita kurang mengandalkan ekspor-impor," jelasnya dalam keterangan di Jakarta, Selasa (8/4).
Meskipun IHSG sempat mengalami penundaan perdagangan karena libur Idul Fitri, dampak sentimen negatif dari kebijakan tarif AS belum terlihat signifikan. Hans Kwee memprediksi pergerakan IHSG pada hari pertama perdagangan setelah libur akan bergerak terbatas, berpotensi turun terlebih dahulu, sebelum kemudian kembali stabil.
Dampak Terbatas, Namun Perang Tarif Perlu Diwaspadai
Hans Kwee menjelaskan bahwa Indonesia lebih mengandalkan ekonomi domestik atau konsumsi dalam negeri. Hal ini membuat dampak kebijakan tarif AS menjadi relatif lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih bergantung pada ekspor ke AS. Namun, ia mengingatkan akan potensi "putaran kedua", yaitu kemungkinan pembalasan tarif dari negara-negara lain yang dapat berujung pada perang tarif.
"Pembalasan tarif kemudian akan dibalas Amerika dengan tarif sehingga ini akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia yang sentimennya kurang baik bagi pasar saham kita," tuturnya. Beberapa negara di Asia Pasifik telah mengalami penurunan indeks saham yang signifikan sejak pengumuman kebijakan tarif tersebut, seperti Hong Kong (-10%), Shanghai (-7%), dan Korea Selatan (-5%).
Hans Kwee memperkirakan bahwa setelah periode penyesuaian awal, tekanan jual di pasar saham Indonesia akan berkurang. Hal ini disebabkan oleh rebalancing portofolio asing yang telah berakhir pada Maret 2025.
Sementara itu, Direktur Panin Asset Management, Rudiyanto, mengamini bahwa dampak kebijakan tarif AS terhadap Indonesia diproyeksikan tidak terlalu signifikan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya investasi asing di sektor riil Indonesia.
Investasi Terdiversifikasi di Tengah Ketidakpastian
Rudiyanto menekankan pentingnya diversifikasi portofolio investasi di tengah ketidakpastian ekonomi global. Ia menyarankan investor untuk tidak terkonsentrasi pada satu instrumen saja dan tidak panik melakukan "cut loss" (penjualan saham untuk menghindari kerugian lebih besar).
"Apabila berkaca dengan waktu pandemi 2020 yang lalu, justru kalau kita panik dan cut loss, ketika harga sahamnya pulih kita kehilangan kesempatan yang cukup banyak. Nah, kalau misalkan kita bisa menggunakan penurunan dalam seperti ini sebagai kesempatan untuk menambah, itu adalah suatu pola pikir yang baik," katanya.
Pemerintah Indonesia, di bawah Presiden Prabowo Subianto, akan menyampaikan sikap resmi terkait rencana penerapan tarif resiprokal AS pada Selasa (8/4) di Bank Mandiri Bapindo, Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah mengkonfirmasi hal ini setelah rapat terbatas dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump mengumumkan kenaikan tarif hingga 32 persen terhadap barang-barang Indonesia yang masuk ke AS. Indonesia berada di urutan kedelapan dalam daftar negara yang terkena dampak kebijakan tarif tersebut. Sekitar 60 negara akan dikenai tarif timbal balik separuh dari tarif yang mereka berlakukan terhadap AS.
Kesimpulannya, meskipun kebijakan tarif AS berpotensi menimbulkan dampak negatif global, para ekonom menilai dampaknya terhadap pasar modal Indonesia akan relatif terbatas, terutama karena rendahnya ketergantungan Indonesia pada ekspor-impor ke AS. Namun, potensi perang tarif global tetap menjadi perhatian yang perlu diwaspadai.