Data Kemiskinan BPS vs Bank Dunia: Mengapa Angkanya Berbeda?
Perbedaan data kemiskinan Indonesia versi BPS (8,57 persen) dan Bank Dunia (61,8 persen) disebabkan perbedaan metodologi dan standar pengukuran; BPS pakai pendekatan kebutuhan dasar, Bank Dunia pakai standar internasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan Indonesia telah mencapai titik terendah sepanjang sejarah, yaitu 8,57 persen pada September 2024. Namun, data ini bertolak belakang dengan data Bank Dunia yang menunjukkan angka kemiskinan Indonesia mencapai 61,8 persen pada 2023, atau diperkirakan sekitar 60 persen pada 2024. Perbedaan signifikan ini menimbulkan pertanyaan mengenai metode pengukuran yang digunakan kedua lembaga tersebut.
Perbedaan ini muncul karena BPS dan Bank Dunia menggunakan metode dan standar yang berbeda dalam menghitung kemiskinan. BPS menggunakan pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach), yang mengukur ketidakmampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan berdasarkan pengeluaran. Sementara itu, Bank Dunia menggunakan harmonized poverty line, yang menstandarisasi garis kemiskinan antar negara menggunakan purchasing power parity (PPP).
Lebih lanjut, BPS menghitung garis kemiskinan dengan menjumlahkan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). GKM didasarkan pada pengeluaran untuk 52 komoditas makanan untuk memenuhi kebutuhan kalori minimal, sedangkan GKNM mencakup kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan Bank Dunia menggunakan estimasi konsumsi yang dikonversi ke dalam US$ PPP, bukan nilai tukar resmi, untuk perbandingan antar negara.
Metode Pengukuran BPS
BPS menggunakan pendekatan basic needs approach yang berfokus pada pengeluaran riil masyarakat Indonesia. Garis kemiskinan dihitung terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan, mempertimbangkan perbedaan biaya hidup dan pola konsumsi. Penduduk dianggap miskin jika rata-rata pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan. Metode ini dinilai lebih relevan untuk strategi pengentasan kemiskinan nasional dan evaluasi program di dalam negeri.
Namun, metode BPS juga menuai kritik karena dianggap sudah usang dan belum menyesuaikan dengan perubahan pola konsumsi masyarakat sejak tahun 1998. Perubahan tersebut mencakup konsumsi makanan jadi dan biaya untuk akses internet yang semakin signifikan.
Meskipun demikian, BPS telah merencanakan pemutakhiran metode penghitungan kemiskinan sejak 2020, melibatkan pakar dari berbagai lembaga. Proses ini membutuhkan waktu karena kompleksitas pola konsumsi dan keterbatasan data. Pemerintah harus sangat berhati-hati dalam merevisi metode ini karena akan berdampak jangka panjang, minimal sepuluh tahun ke depan.
Metode Pengukuran Bank Dunia
Bank Dunia menggunakan pendekatan harmonized poverty line untuk perbandingan internasional. Mereka mencocokkan tingkat kemiskinan nasional tahun 2017 (atau tahun terdekat) dengan data distribusi konsumsi/penghasilan dalam satuan PPP per kapita. Garis kemiskinan nasional kemudian distandarisasi dalam PPP untuk setiap negara. Selanjutnya, Bank Dunia menghitung median garis kemiskinan nasional dari 37 negara upper-middle income untuk menetapkan garis kemiskinan global.
Bank Dunia mengakui bahwa garis kemiskinan nasional bersifat unik dan menjadi tanggung jawab National Statistics Office masing-masing negara. Oleh karena itu, data Bank Dunia lebih tepat untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara, bukan untuk menentukan strategi pengentasan kemiskinan di tingkat nasional.
Contoh revisi garis kemiskinan dilakukan oleh Malaysia pada 2020, yang merevisi garis kemiskinan nasionalnya dengan mempertimbangkan perubahan konsep (dari 'minimum' menjadi 'optimum minimum'), penambahan komoditas bukan makanan, dan perubahan pola belanja rumah tangga. Revisi ini berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin.
Kesimpulan
Perbedaan angka kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia mencerminkan perbedaan metodologi dan tujuan pengukuran. Data BPS lebih relevan untuk kebijakan domestik, sementara data Bank Dunia berguna untuk perbandingan internasional. Revisi metode penghitungan kemiskinan di Indonesia diperlukan untuk mencerminkan realitas terkini dan mendukung kebijakan pengentasan kemiskinan yang lebih efektif dan berkelanjutan.