Dilema Indonesia: Keluarnya AS dari Perjanjian Paris & Pengembangan Energi Terbarukan
Keputusan Amerika Serikat keluar dari Perjanjian Paris membuat Indonesia dilema dalam mengembangkan energi terbarukan karena berdampak pada pendanaan dan komitmen global, meskipun Indonesia tetap berkomitmen menjaga kualitas udara.
Dilema Indonesia: Antara Komitmen Global dan Realita Ekonomi
Pengumuman resmi Amerika Serikat (AS) keluar dari Perjanjian Iklim Paris pada 28 Januari 2024 telah menempatkan Indonesia dalam posisi yang sulit. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan dilema ini dalam acara “Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru” di Jakarta, Kamis (30/1).
Keputusan AS ini menimbulkan pertanyaan besar bagi Indonesia. Pasalnya, komitmen global untuk energi terbarukan, yang didorong oleh Perjanjian Paris, telah menarik banyak investasi hijau dari lembaga keuangan internasional. Indonesia, mau tak mau, ikut terikat pada konsensus ini.
Tantangan Biaya dan Ketidakpastian Politik Global
Namun, dengan AS—negara yang berperan besar dalam inisiasi perjanjian tersebut—menarik diri, Indonesia menghadapi dilema. Bahlil menekankan, "Engkau (AS) yang memulai, tetapi engkau (AS) juga yang mengakhiri." Hal ini menimbulkan keraguan terhadap keberlanjutan komitmen Indonesia dalam pengembangan energi terbarukan.
Tantangan lain adalah biaya pengembangan energi terbarukan yang jauh lebih tinggi daripada energi fosil di Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan potensi berkurangnya pendanaan internasional untuk proyek energi hijau akibat ketidakpastian politik global pasca penarikan AS dari Perjanjian Paris.
Pertimbangan Matang dan Keseimbangan
Bahlil menyatakan perlunya perhitungan matang dalam melanjutkan pengembangan energi terbarukan. Beliau menganalogikan situasi ini dengan upaya penanganan pandemi COVID-19, dimana dibutuhkan keseimbangan antara gas dan rem. Keputusan ini memerlukan pertimbangan yang cermat antara komitmen lingkungan dan realita ekonomi.
Komitmen Tetap Berlanjut
Meskipun demikian, Indonesia tetap berkomitmen terhadap pengembangan energi baru dan terbarukan. Komitmen ini didasari tanggung jawab sosial untuk menjaga kualitas udara. Bahlil menegaskan, "Ada bagusnya juga untuk tetap kita memakai energi baru-terbarukan sebagai konsensus pertanggungjawaban kita sebagai makhluk sosial, untuk mengamankan udara kita."
Dampak terhadap Pendanaan Internasional
Perlu diingat bahwa Perjanjian Paris, yang diadopsi pada 2015 oleh 195 negara, bertujuan membatasi peningkatan suhu global. Keluarnya AS berpotensi mengganggu program pendanaan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), yang sangat krusial bagi transisi energi di negara berkembang.