Hakim Tolak Keberatan Dirut PPM dalam Kasus Korupsi APD Kemenkes
Majelis Hakim Tipikor Jakarta menolak eksepsi Dirut PT PPM, Ahmad Taufik, terkait kasus korupsi pengadaan APD Kemenkes tahun 2020, dan menyatakan dakwaan penuntut umum sah.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menolak nota keberatan atau eksepsi Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), Ahmad Taufik, terkait kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 di Kemenkes tahun 2020. Kasus ini melibatkan tiga terdakwa yang diduga merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah. Putusan ini disampaikan pada sidang putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 26 Februari 2024. Proses hukum pun akan berlanjut ke tahap selanjutnya.
Hakim Ketua, Syofia Marlianti, menyatakan surat dakwaan penuntut umum telah menjelaskan secara rinci dan lengkap perbuatan terdakwa, termasuk waktu dan tempat kejadian. Hakim menyatakan, "Menyatakan surat dakwaan penuntut umum adalah sah sebagai dasar untuk memeriksa tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Ahmad Taufik." Dengan demikian, majelis hakim memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan proses pemeriksaan perkara Ahmad Taufik.
Nota keberatan Ahmad Taufik, yang diajukan melalui penasihat hukumnya, mempersoalkan uraian perbuatan terdakwa dalam surat dakwaan. Namun, majelis hakim berpendapat bahwa dakwaan telah menguraikan secara lengkap dan jelas bagaimana Ahmad Taufik melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan APD Kemenkes, menggunakan dana siap pakai dari BNPB tahun 2020. Lokasi kejadian, menurut hakim, berada di Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes atau setidaknya di wilayah hukum Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Kronologi Kasus Korupsi Pengadaan APD
Kasus ini melibatkan tiga terdakwa: Mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, Budi Sylvana; Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI), Satrio Wibowo; dan Direktur Utama PT PPM, Ahmad Taufik. Budi Sylvana dan Satrio Wibowo tidak mengajukan eksepsi. Ketiga terdakwa diduga merugikan negara sebesar Rp319,69 miliar. Rincian kerugian negara meliputi pengayaan Satrio Wibowo (Rp59,98 miliar), Ahmad Taufik (Rp224,19 miliar), PT Yoon Shin Jaya (Rp25,25 miliar), dan PT GA Indonesia (Rp14,62 miliar).
Dakwaan terhadap ketiga terdakwa meliputi negosiasi harga APD sejumlah 170 ribu pasang tanpa surat pesanan, negosiasi dan penandatanganan surat pesanan APD sebanyak lima juta pasang, serta penerimaan pinjaman uang dari BNPB untuk membayar 170 ribu pasang APD tanpa dokumen pendukung. Mereka juga diduga menerima pembayaran untuk 1,01 juta pasang APD merek BOHO senilai Rp711,28 miliar, meskipun PT EKI tidak memiliki kualifikasi dan izin yang dibutuhkan.
Lebih lanjut, PT EKI dan PT PPM diduga tidak menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam keadaan darurat yang seharusnya efektif, transparan, dan akuntabel. Perbuatan ketiga terdakwa diancam dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Kesimpulan: Penolakan eksepsi Ahmad Taufik membuka jalan bagi kelanjutan proses hukum kasus korupsi pengadaan APD Kemenkes. Proses persidangan akan terus berlanjut untuk mengungkap seluruh fakta dan menetapkan hukuman bagi para terdakwa yang terbukti bersalah. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, terutama dalam situasi darurat.