ICJR Dorong Peninjauan UU ITE dan KUHP Usai Putusan MK
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak peninjauan UU ITE dan KUHP pasca beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terkait kebebasan berekspresi, terutama pasal-pasal yang mengatur penghinaan dan hoaks.
Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan beberapa putusan yang berkaitan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), memicu desakan peninjauan ulang terhadap kedua undang-undang tersebut. Desakan ini muncul dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menilai putusan MK tersebut berimplikasi signifikan pada kebebasan berekspresi di Indonesia. Putusan-putusan MK ini telah menimbulkan pertanyaan mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang penghinaan dan penyebaran berita bohong atau hoaks, serta bagaimana penegakan hukum seharusnya berjalan ke depan.
Salah satu putusan MK yang menjadi sorotan adalah Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024. Putusan ini menyatakan bahwa Pasal 27A UU ITE, yang mengatur tentang penyerangan kehormatan atau nama baik, tidak berlaku untuk lembaga pemerintah. Hal ini menurut ICJR, berdampak pada pasal-pasal serupa dalam KUHP yang mengatur penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, pemerintah, dan lembaga negara. Nur Ansar dari ICJR menyatakan, "Putusan tersebut secara langsung menimbulkan kebutuhan untuk meninjau kembali pengaturan mengenai tindak pidana penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, pemerintah, dan lembaga negara dalam Pasal 218, 219, 240, dan 241 KUHP 2023."
Lebih lanjut, ICJR juga menyoroti Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang menghapus Pasal 14 dan 15 KUHP lama terkait penyebaran berita bohong. Meskipun pasal tersebut telah dihapus, ketentuan serupa masih terdapat dalam KUHP baru dan UU ITE. ICJR berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut perlu dihapus untuk menghindari potensi penyalahgunaan dan pembatasan kebebasan berekspresi. Selain itu, Putusan MK Nomor 115/PUU-XXII/2024 memberikan penafsiran baru terhadap frasa 'kerusuhan' dalam Pasal 28 ayat (3) UU ITE, membatasi penerapannya hanya pada kerusuhan fisik, bukan di ruang digital.
Putusan MK dan Implikasinya terhadap UU ITE dan KUHP
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah dikeluarkan menimbulkan beberapa implikasi penting terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). ICJR menekankan perlunya peninjauan komprehensif terhadap pasal-pasal yang dinilai membatasi kebebasan berekspresi. Salah satu poin utama yang disoroti adalah pasal-pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap pejabat negara. Dengan putusan MK yang menyatakan Pasal 27A UU ITE tidak berlaku untuk lembaga pemerintah, ICJR mendorong agar pasal-pasal serupa dalam KUHP juga dihapus.
Lebih lanjut, ICJR juga menyoroti pasal-pasal yang mengatur tentang penyebaran berita bohong atau hoaks. Meskipun MK telah menghapus pasal tersebut dalam KUHP lama, pasal serupa masih terdapat dalam KUHP baru dan UU ITE. ICJR berpendapat bahwa hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan dan pembatasan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, ICJR mendesak agar pasal-pasal tersebut dihapuskan.
Selain itu, putusan MK juga memberikan penafsiran baru terhadap frasa "kerusuhan" dalam Pasal 28 ayat (3) UU ITE. MK membatasi penerapannya hanya pada kerusuhan fisik, bukan di ruang digital. Hal ini menurut ICJR, harus menjadi perhatian aparat penegak hukum agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam penerapan pasal tersebut. ICJR juga menyoroti pengetatan norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE oleh MK, yang menekankan pada kesengajaan dan akibat dari perbuatan ujaran kebencian. Hal ini menurut Nur Ansar, "memberikan konsekuensi perlunya melihat kesengajaan dan juga akibat dari perbuatan orang yang dianggap melakukan ujaran kebencian."
Analisis dan Rekomendasi ICJR
ICJR memberikan analisis mendalam terhadap putusan-putusan MK tersebut dan memberikan beberapa rekomendasi. Mereka menekankan pentingnya peninjauan ulang UU ITE dan KUHP untuk memastikan kesesuaian dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan berekspresi. Salah satu rekomendasi utama adalah penghapusan pasal-pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap pejabat negara dan penyebaran berita bohong, khususnya dalam konteks digital. Rekomendasi ini didasarkan pada putusan MK yang telah membatasi penerapan pasal-pasal tersebut.
ICJR juga merekomendasikan agar aparat penegak hukum lebih teliti dan hati-hati dalam menafsirkan dan menerapkan pasal-pasal yang masih berlaku, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM dan kebebasan berekspresi. Mereka menekankan pentingnya melihat kesengajaan dan dampak dari suatu tindakan sebelum menjatuhkan sanksi hukum. Dengan demikian, penegakan hukum diharapkan dapat berjalan lebih adil dan proporsional, tanpa membatasi kebebasan berekspresi secara berlebihan.
Secara keseluruhan, ICJR mendorong pemerintah untuk segera meninjau ulang UU ITE dan KUHP untuk menyesuaikannya dengan putusan MK dan prinsip-prinsip HAM. Hal ini penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kebebasan berekspresi, tetapi juga tetap menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Peninjauan ulang tersebut diharapkan dapat menghasilkan peraturan perundang-undangan yang lebih jelas, tegas, dan sejalan dengan perkembangan zaman.
Dengan adanya putusan MK ini, diharapkan ke depan akan ada perbaikan dalam penegakan hukum terkait kebebasan berekspresi di Indonesia. Namun, perbaikan tersebut membutuhkan komitmen dari semua pihak, termasuk pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil. Semua pihak harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan kebebasan berekspresi, tetapi juga bertanggung jawab dan tidak melanggar hukum.