Indeks Demokrasi Indonesia Menurun: Bukan di Era Presiden Prabowo, Kata Menteri HAM
Menteri HAM Natalius Pigai menjelaskan penurunan indeks demokrasi Indonesia pada 2024 bukan terjadi di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, melainkan karena beberapa faktor lain yang telah terjadi sejak 2015.
Jakarta, 12 Maret 2024 - Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, memberikan klarifikasi terkait penurunan angka indeks demokrasi Indonesia dalam The Democracy Index 2024 yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit (EIU). Penurunan tersebut, menurutnya, tidak terjadi di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Pigai menegaskan bahwa data indeks demokrasi 2024 merefleksikan kondisi sebelum Kabinet Merah Putih dibentuk. "(Tahun) 2024 itu sebelum pemerintahan Kabinet Merah Putih yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto. Sebelumnya karena data ini adalah penilaian turunnya demokrasi pada 2024, berarti sebelum kepemimpinan pemerintah yang baru," jelas Pigai saat ditemui di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (11/3).
Angka indeks demokrasi Indonesia pada 2024 tercatat 6,44, mengalami penurunan dari angka 6,53 pada tahun 2023. Penurunan ini, menurut Menteri Pigai, bukan indikasi pemerintahan yang tidak ramah terhadap demokrasi, melainkan perbedaan variabel penilaian antara pemerintah dan EIU.
Faktor Penurunan Indeks Demokrasi Menurut Menteri HAM
Menteri Pigai menjelaskan bahwa EIU berfokus pada aspek regulasi, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, instruksi presiden, dan putusan pengadilan yang dianggap membatasi kebebasan demokrasi. Beliau mengakui bahwa beberapa regulasi memang berkontribusi pada penurunan indeks, khususnya periode 2015-2024.
Beberapa peraturan tersebut antara lain Peraturan Kapolri tentang ujaran kebencian (2015), yang dinilai menghambat kebebasan berekspresi. Kemudian, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang memungkinkan anggota dewan melaporkan warga yang memprotes mereka. Revisi Undang-Undang KPK dan Perppu tentang Ormas (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017) juga disebut sebagai faktor penyebab.
Selain itu, penangkapan aktivis organisasi kemasyarakatan sipil sejak 2015 juga turut mempengaruhi indeks demokrasi. "Fakta-fakta inilah yang mengunci dinamika demokrasi berkembang di Indonesia sehingga pada saat itu The Economist menyatakan bahwa indeks demokrasi Indonesia turun," ungkap Pigai.
Lebih lanjut, Menteri HAM menyorot upaya DPR RI untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah sebagai salah satu faktor penyebab penurunan indeks demokrasi pada tahun 2024.
Perbedaan Perspektif dan Variabel Penilaian
Perbedaan perspektif antara pemerintah dan EIU dalam menilai indeks demokrasi perlu diperhatikan. Pemerintah mungkin memiliki perspektif yang lebih luas, mempertimbangkan faktor-faktor lain di luar regulasi semata. EIU, di sisi lain, tampaknya lebih fokus pada aspek legal formal dalam menilai kondisi demokrasi di Indonesia.
Ke depan, penting bagi pemerintah dan lembaga internasional seperti EIU untuk membangun komunikasi yang lebih baik dan saling memahami metodologi penilaian masing-masing. Hal ini akan membantu memberikan gambaran yang lebih komprehensif dan akurat mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia.
Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi yang dinilai membatasi kebebasan demokrasi, dengan tetap mempertimbangkan aspek keamanan dan ketertiban umum. Transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan juga sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah dan memperkuat demokrasi di Indonesia.
Kesimpulannya, penurunan indeks demokrasi Indonesia pada 2024 merupakan isu kompleks yang memerlukan analisis mendalam dan kolaborasi berbagai pihak. Perlu adanya pemahaman yang lebih baik mengenai perbedaan perspektif dan variabel penilaian untuk menghasilkan kesimpulan yang lebih akurat dan berimbang.