Inflasi Kota Bima Tertinggi di NTB pada April 2025: Tarif Listrik Jadi Penyumbang Utama
Kota Bima mencatat inflasi tertinggi di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada April 2025, mencapai 1,1 persen, didorong kenaikan tarif listrik dan harga emas.
Badan Pusat Statistik (BPS) Nusa Tenggara Barat (NTB) melaporkan angka inflasi bulan ke bulan di Kota Bima sebagai yang tertinggi di provinsi tersebut pada April 2025, mencapai 1,1 persen. Laporan ini disampaikan Kepala BPS NTB, Wahyudin, di Mataram pada Jumat, 2 Mei 2025. Kenaikan ini terjadi di tengah inflasi di Kota Mataram sebesar 0,7 persen dan Kabupaten Sumbawa sebesar 0,55 persen.
Penyebab utama inflasi di Kota Bima adalah kenaikan tarif listrik yang berkontribusi sebesar 0,67 persen terhadap angka inflasi. Selain itu, kenaikan harga emas perhiasan (0,22 persen), angkutan udara (0,14 persen), ikan bandeng (0,06 persen), dan bawang merah (0,03 persen) juga turut menyumbang inflasi. Namun, beberapa komoditas justru mengalami deflasi, seperti cumi-cumi (-0,07 persen), cabai rawit (-0,04 persen), daging ayam ras (-0,03 persen), cabai merah (-0,03 persen), dan ikan layang/benggol (-0,03 persen).
Perbandingan inflasi antar daerah di NTB menunjukkan perbedaan yang signifikan. Meskipun Kota Bima mengalami inflasi tertinggi secara bulan ke bulan, Kota Mataram justru mencatat inflasi tahunan tertinggi sebesar 2,07 persen, diikuti Kota Bima (1,96 persen) dan Kabupaten Sumbawa (1,39 persen). Perbedaan ini menunjukkan kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di setiap daerah.
Analisis Inflasi di Tiga Daerah NTB
BPS NTB menganalisis inflasi di tiga wilayah utama: Kota Mataram, Kabupaten Sumbawa, dan Kota Bima. Masing-masing daerah memiliki komoditas penyumbang inflasi dan deflasi yang berbeda. Di Kota Mataram, tarif listrik (0,64 persen) dan emas perhiasan (0,20 persen) menjadi penyumbang utama inflasi, sementara cabai rawit (-0,19 persen) dan daging ayam ras (-0,10 persen) menjadi penyumbang deflasi.
Di Kabupaten Sumbawa, tarif listrik (0,54 persen) dan emas perhiasan (0,19 persen) juga menjadi penyumbang inflasi utama, namun udang basah (0,14 persen) dan bawang merah (0,11 persen) juga berkontribusi signifikan. Deflasi di Sumbawa didorong oleh penurunan harga cabai rawit (-0,22 persen) dan beberapa jenis ikan.
"Udang basah sebagai penyumbang inflasi di Sumbawa, tapi di Mataram sebagai penyumbang deflasi. Hal ini perlu dilihat distribusinya oleh Dinas Perdagangan," jelas Wahyudin, Kepala BPS NTB, menyoroti perbedaan distribusi komoditas yang mempengaruhi inflasi di berbagai daerah.
Komoditas Penyumbang Inflasi dan Deflasi
Berikut rincian komoditas penyumbang inflasi dan deflasi di masing-masing daerah:
- Kota Bima:
- Inflasi: Tarif listrik (0,67%), emas perhiasan (0,22%), angkutan udara (0,14%), ikan bandeng (0,06%), bawang merah (0,03%).
- Deflasi: Cumi-cumi (-0,07%), cabai rawit (-0,04%), daging ayam ras (-0,03%), cabai merah (-0,03%), ikan layang/benggol (-0,03%).
- Inflasi: Tarif listrik (0,64%), emas perhiasan (0,20%), angkutan udara (0,11%), bawang merah (0,09%), ikan tongkol (0,03%).
- Deflasi: Cabai rawit (-0,19%), daging ayam ras (-0,10%), cabai merah (-0,07%), kangkung (-0,03%), udang basah (-0,02%).
- Inflasi: Tarif listrik (0,54%), emas perhiasan (0,19%), udang basah (0,14%), bawang merah (0,11%), kontrak rumah (0,09%).
- Deflasi: Cabai rawit (-0,22%), ikan teri (-0,07%), ikan layang/benggol (-0,06%), terong (-0,06%), cabai merah (-0,06%).
Perbedaan komoditas penyumbang inflasi dan deflasi di ketiga daerah ini menunjukkan pentingnya analisis lebih lanjut untuk memahami dinamika pasar lokal dan kebijakan yang tepat untuk mengendalikan inflasi.
Data Indeks Harga Konsumen (IHK) menunjukkan Kota Mataram memiliki IHK 108,68 poin, Kabupaten Sumbawa 108,97 poin, dan Kota Bima 108,12 poin. Data ini memberikan gambaran lebih lengkap tentang kondisi ekonomi di masing-masing daerah.