Jabodetabek Darurat Ekosistem Hutan: Ancaman Banjir dan Kerusakan Lingkungan
Forest Watch Indonesia (FWI) menyoroti krisis ekosistem hutan di Jabodetabek yang mengancam kehidupan masyarakat akibat alih fungsi lahan dan minimnya kawasan lindung, berujung pada bencana banjir.
Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkapkan krisis ekosistem hutan di Jabodetabek. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sangat bergantung pada ekosistem hutan sebagai penyangga kehidupan, namun alih fungsi lahan mengancam keberlangsungannya. Banjir yang baru-baru ini melanda wilayah tersebut menjadi bukti nyata dampak kerusakan lingkungan yang terjadi.
Menurut Anggi, "Sayangnya hutan tidak lagi dilihat sebagai fungsi, melainkan komoditas yang selalu dikalahkan untuk berbagai kepentingan." Sisa hutan di tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) utama, Ciliwung (14 persen), Kali Bekasi (4 persen), dan Cisadane (21 persen), jauh di bawah ambang batas aman 30 persen yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK). Kondisi ini meningkatkan kerentanan Jabodetabek terhadap bencana alam seperti banjir.
Lebih lanjut, Anggi menjelaskan bahwa kebijakan yang ada justru mendorong perusakan hutan. Kementerian Kehutanan telah menetapkan 23 ribu hektare hutan di tiga DAS tersebut sebagai kawasan hutan produksi, yang lebih memprioritaskan hasil hutan kayu daripada jasa lingkungan. Hal ini berdampak pada semakin berkurangnya fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat Jabodetabek.
Alih Fungsi Lahan dan Ancaman terhadap Kawasan Lindung
Perubahan kebijakan tata ruang turut memperparah masalah ini. Anggi mencatat penyusutan kawasan lindung di Kabupaten Bogor yang signifikan, diperkirakan mencapai 71.595 hektare, akibat perubahan Perda RTRW Nomor 1 Tahun 2024. Perda tersebut mengurangi luas kawasan lindung dibandingkan Perda Nomor 11 Tahun 2016.
Di kawasan Puncak Bogor, konversi lahan perkebunan teh dan hutan produksi menjadi kawasan budi daya telah memicu pembangunan yang tidak terkendali. Perkebunan teh yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan air kini terancam. Contohnya, pembangunan objek wisata Hibisc Fantasy Puncak yang mengalihfungsikan daerah resapan air.
Akibatnya, fungsi lindung hutan semakin berkurang. Kawasan Puncak Bogor yang dulunya memiliki perkebunan teh di atas Hak Guna Usaha (HGU) yang berfungsi sebagai daerah resapan air, kini semakin tergerus oleh pembangunan. Perubahan ini telah memicu pembangunan yang lebih bebas dan terang-terangan.
Dampak Kerusakan Hutan: Banjir dan Gangguan Aktivitas
Banjir yang baru-baru ini melanda kawasan Puncak Bogor telah mengakibatkan gangguan aktivitas dan kerusakan infrastruktur. Hujan deras menyebabkan Sungai Ciliwung meluap, merendam pemukiman dan jalur utama. Jakarta dan Bekasi turut terdampak akibat meluapnya Sungai Ciliwung dan Kali Bekasi.
FWI menekankan pentingnya mengembalikan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Bukan hanya sebagai sumber kayu, tetapi juga sebagai penjaga keseimbangan ekosistem dan pencegah bencana. Perlu adanya kebijakan yang lebih tegas dalam melindungi dan melestarikan hutan di Jabodetabek.
Perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan tata ruang dan pemanfaatan lahan di wilayah Jabodetabek. Penting untuk memastikan bahwa pembangunan berkelanjutan diprioritaskan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan keselamatan masyarakat. Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini merupakan alarm bagi kita semua untuk segera bertindak.
Ke depannya, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait untuk menjaga kelestarian hutan di Jabodetabek. Hal ini penting untuk memastikan keberlangsungan kehidupan masyarakat dan mencegah bencana alam di masa mendatang. Perlindungan hutan bukanlah sekadar upaya pelestarian lingkungan, tetapi juga investasi untuk masa depan yang lebih baik.