Jakarta Kualitas Udara Terburuk ke-11 Dunia, DLH DKI Tiru Paris dan Bangkok
Kualitas udara Jakarta pagi ini berada di peringkat ke-11 terburuk dunia, mendorong DLH DKI untuk menambah sensor udara dan meniru strategi kota-kota maju seperti Paris dan Bangkok.
Polusi udara di Jakarta kembali menjadi sorotan setelah kualitas udaranya menempati peringkat ke-11 terburuk di dunia pada Sabtu pagi, 17 Mei 2024. Berdasarkan data dari situs pemantau kualitas udara IQAir, pukul 05.45 WIB, Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta mencapai angka 114, masuk kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif, terutama karena tingginya kadar partikel halus (PM2.5).
Peringkat ini menempatkan Jakarta di bawah kota-kota seperti Lahore, Pakistan (AQI 171), Kuwait City, Kuwait (AQI 160), Chengdu, China (AQI 158), dan Dubai, Uni Emirat Arab (AQI 153) yang memiliki kualitas udara jauh lebih buruk. Kondisi ini menjadi perhatian serius mengingat dampak buruk polusi udara terhadap kesehatan masyarakat.
Menanggapi permasalahan ini, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta berencana untuk meningkatkan upaya penanggulangan polusi udara dengan mengambil contoh dari kota-kota besar dunia yang telah berhasil dalam mengatasi masalah serupa. Langkah ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas udara Jakarta secara signifikan dan berkelanjutan.
Langkah DLH DKI Jakarta Atasi Polusi Udara
Sebagai solusi jangka panjang, DLH DKI Jakarta akan meniru strategi pengelolaan kualitas udara yang diterapkan di Paris dan Bangkok. Kedua kota tersebut dikenal memiliki sistem pemantauan kualitas udara yang canggih dan efektif. "Belajar dari kota lain, Bangkok memiliki 1.000 Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU), Paris memiliki 400 SPKU. Jakarta saat ini memiliki 111 SPKU dari sebelumnya hanya 5 unit. Ke depan kita akan menambah jumlahnya agar bisa melakukan intervensi yang lebih cepat dan akurat," jelas Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto, dalam keterangan pers beberapa waktu lalu.
Asep Kuswanto menekankan pentingnya keterbukaan data dalam upaya memperbaiki kualitas udara secara sistematis. Menurutnya, penyampaian data polusi udara yang transparan akan memungkinkan intervensi yang lebih efektif dan terarah. "Yang dibutuhkan bukan hanya intervensi sesaat, tetapi langkah-langkah berkelanjutan dan luar biasa dalam menangani pencemaran udara," tambahnya.
DLH DKI Jakarta juga menargetkan penambahan 1.000 sensor kualitas udara berbiaya rendah (low-cost sensors) untuk memperluas jangkauan dan akurasi pemantauan. Dengan data yang lebih komprehensif, diharapkan intervensi yang dilakukan dapat lebih tepat sasaran dan efektif dalam mengurangi polusi udara.
Selain penambahan sensor, DLH DKI Jakarta juga akan fokus pada edukasi publik mengenai pentingnya menjaga kualitas udara. Kampanye dan sosialisasi akan dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak polusi udara dan mendorong partisipasi aktif dalam upaya penanggulangannya.
Pentingnya Kolaborasi dan Solusi Berkelanjutan
Permasalahan polusi udara di Jakarta membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor industri. Semua pihak perlu berperan aktif dalam mengurangi emisi dan menjaga kualitas udara. Solusi jangka panjang dan berkelanjutan sangat penting untuk mengatasi masalah ini secara efektif.
Langkah-langkah yang diambil oleh DLH DKI Jakarta, seperti meniru strategi kota-kota maju dan meningkatkan jumlah sensor udara, merupakan langkah positif dalam upaya memperbaiki kualitas udara di Jakarta. Namun, keberhasilan upaya ini juga bergantung pada partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat.
Dengan komitmen dan kerja sama yang kuat, diharapkan kualitas udara di Jakarta dapat membaik dan memberikan lingkungan yang lebih sehat bagi seluruh warganya. Pemantauan yang ketat dan intervensi yang tepat sasaran akan menjadi kunci keberhasilan dalam mengatasi permasalahan polusi udara ini.
Ke depannya, transparansi data dan kolaborasi yang erat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta akan menjadi kunci dalam menciptakan udara bersih dan sehat di Jakarta.