Kejari Mataram: Tak Ada Niat Jahat dalam Dugaan Korupsi SPPD DPRD Lombok Utara
Kejaksaan Negeri Mataram menyatakan tidak menemukan niat jahat dalam laporan dugaan korupsi SPPD DPRD Lombok Utara tahun 2019-2024, meskipun ada temuan BPK, karena nilai temuan kecil dan telah dikembalikan.
Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) menyatakan tidak menemukan bukti niat jahat atau mens rea dalam laporan dugaan korupsi terkait penerbitan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lombok Utara periode 2019-2024. Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Mataram, Mardiono, pada Rabu, 23 April 2024 di Mataram. Penyelidikan ini bermula dari laporan masyarakat terkait dugaan penyimpangan penggunaan anggaran SPPD tersebut.
Kesimpulan tersebut diambil setelah Kejari Mataram melakukan klarifikasi terhadap pejabat Sekretariat DPRD Lombok Utara. "Karena dokumennya lengkap, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ada dan sudah ditindaklanjuti. Jadi, tidak ada mens rea. Karena kecil-kecil (nilai temuan) dan ada pengembalian," jelas Mardiono. Proses klarifikasi difokuskan pada Sekretariat DPRD Lombok Utara, dan pihak Kejari menilai data yang diperoleh sudah cukup untuk menyimpulkan kasus ini.
Mardiono menjelaskan bahwa temuan BPK tersebut merupakan bagian dari audit rutin tahunan. Ia mengakui bahwa setiap tahun selalu ada temuan terkait SPPD yang tidak sesuai dengan realisasi di lapangan. "Rata-rata secara akumulatif itu temuan mencapai Rp50 juta sampai Rp70 juta. Item-nya banyak, ada yang kelebihan pembayaran tiket pesawat, hotel, lebihnya itu untuk per orang per tahun ada yang Rp2 juta, Rp4 juta, kecil-kecil," ungkap Mardiono. Besarnya temuan yang relatif kecil dan telah dikembalikan menjadi pertimbangan utama Kejari Mataram dalam penyelidikan ini.
Temuan BPK dan Kurangnya Pemahaman
Kejari Mataram menilai temuan BPK tersebut bukan indikasi adanya niat jahat, melainkan lebih kepada kurangnya pemahaman dari anggota dewan dalam penggunaan SPPD. Mereka dianggap kurang memahami aturan penggunaan SPPD yang harus sesuai dengan realisasi di lapangan. "Jadi, kami melihatnya tidak ada unsur kesengajaan. Lebih karena mereka (anggota dewan) enggak paham, dan tentunya dengan adanya temuan BPK itu harus segera ditindaklanjuti, kalau tidak diselesaikan tahun itu juga, maka masuk tunggakan tahun selanjutnya," terang Mardiono. Ketidakpahaman ini menjadi poin penting yang ditekankan oleh Kejari Mataram dalam penyelidikan kasus ini.
Proses audit BPK yang rutin dilakukan setiap tahun juga menjadi konteks penting dalam kasus ini. Temuan-temuan yang muncul setiap tahun terkait SPPD menunjukkan adanya permasalahan sistematis dalam pengelolaan keuangan perjalanan dinas di DPRD Lombok Utara. Hal ini perlu menjadi perhatian agar ke depannya tidak terjadi kesalahan serupa.
Kejari Mataram menekankan pentingnya pemahaman aturan dan tata kelola keuangan yang baik bagi seluruh anggota dewan. Dengan pemahaman yang baik, diharapkan kasus serupa dapat dicegah di masa mendatang. Transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran SPPD juga perlu ditingkatkan untuk menjaga kepercayaan publik.
Laporan Dugaan Penyelewengan Dana Pokir
Terkait laporan dugaan penyelewengan dana pokok pikiran (pokir), Mardiono menegaskan bahwa Kejari Mataram tidak menangani kasus tersebut. "Pokir tidak ada. Hanya perjalanan dinas itu saja," tegasnya. Fokus penyelidikan Kejari Mataram hanya pada dugaan korupsi SPPD, dan tidak mencakup laporan lain yang mungkin ada.
Kesimpulannya, Kejari Mataram tidak menemukan bukti mens rea dalam kasus dugaan korupsi SPPD DPRD Lombok Utara. Meskipun ada temuan BPK, nilai yang relatif kecil dan pengembalian dana yang telah dilakukan menjadi pertimbangan utama. Kejari Mataram menekankan pentingnya peningkatan pemahaman aturan dan tata kelola keuangan yang baik untuk mencegah kasus serupa di masa mendatang.