Ketimpangan Investasi Tambang Kalbar: Cornelis Sorot Kesejahteraan Masyarakat
Anggota Komisi XII DPR RI Cornelis kritisi pembangunan sektor pertambangan di Kalimantan Barat yang belum berdampak signifikan pada kesejahteraan masyarakat sekitar tambang, khususnya di tengah proyek smelter besar senilai Rp12,5 triliun.
Anggota Komisi XII DPR RI Cornelis menyoroti ketimpangan investasi tambang di Kalimantan Barat (Kalbar). Pernyataan keprihatinannya disampaikan melalui rilis resmi pada Rabu, 7 Mei, di Pontianak. Ia mengungkapkan bahwa pembangunan sektor pertambangan yang pesat belum berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya di sekitar wilayah tambang. Cornelis menekankan perlunya pembangunan yang berpihak pada rakyat, bukan hanya mengejar keuntungan ekonomi semata.
Salah satu poin penting yang dikritik Cornelis adalah pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, proyek strategis nasional senilai 831 juta dolar AS atau sekitar Rp12,5 triliun. Proyek ini ditargetkan memproduksi satu juta ton alumina per tahun. Namun, Cornelis menyayangkan lambannya progres proyek smelter lainnya. Dari tujuh smelter yang direncanakan, hanya satu yang beroperasi, sementara enam lainnya terkendala pendanaan dan mitra strategis. Bahkan, beberapa perusahaan, seperti PT Kalbar Bumi Perkasa, telah kehilangan izin usaha, memperparah masalah stagnasi proyek.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sektor pengolahan berkontribusi sekitar 15,38 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalbar. Namun, kontribusi ini belum sepenuhnya dinikmati masyarakat sekitar tambang. Cornelis mencatat masih ada tantangan besar dalam akses pekerjaan layak, infrastruktur memadai, dan kualitas lingkungan yang baik. Ia menegaskan perlunya pengelolaan investasi tambang yang profesional dan akuntabel, mengingat sifatnya yang padat modal dan teknologi.
Investasi Tambang: Antara PDRB dan Kesejahteraan Rakyat
Cornelis, mantan Gubernur Kalimantan Barat dua periode, menyatakan, "Jangan sampai petani kita tidak bisa lagi menanam karena kerusakan lahan bekas tambang." Pernyataan ini menggarisbawahi keprihatinannya terhadap dampak lingkungan dari kegiatan pertambangan yang belum terkelola dengan baik. Ia mendesak agar pembangunan tambang tidak hanya fokus pada peningkatan PDRB, tetapi juga memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan hidup masyarakat setempat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan benar-benar terwujud.
Lebih lanjut, Cornelis menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan. Masyarakat, menurutnya, bukan hanya sebagai objek, tetapi juga subjek pembangunan. Ia menolak model pembangunan yang hanya menguntungkan pemilik modal besar dan mengabaikan kepentingan warga lokal. "Kalbar tidak butuh janji, Kalbar butuh keadilan," tegasnya. Pernyataan ini merefleksikan tuntutan akan pembangunan yang inklusif dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Proyek SGAR di Mempawah, meskipun bernilai investasi triliunan rupiah, belum sepenuhnya memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar. Ketimpangan ini menjadi sorotan utama Cornelis. Ia mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan pengawasan investasi tambang, menegakkan regulasi yang ada, dan membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas. Hal ini penting agar kekayaan sumber daya alam Kalbar dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakatnya.
Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Kalbar
Data BPS yang menunjukkan kontribusi sektor pengolahan terhadap PDRB Kalbar sebesar 15,38 persen perlu dikaji lebih dalam. Angka ini belum sepenuhnya mencerminkan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah tambang. Cornelis menyoroti pentingnya akses terhadap pekerjaan yang layak, infrastruktur yang memadai, dan kualitas lingkungan yang baik sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan.
Keberadaan proyek-proyek tambang besar, seperti SGAR, seharusnya diiringi dengan program-program pemberdayaan masyarakat. Hal ini termasuk pelatihan keterampilan, pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM), serta program-program lingkungan untuk meminimalkan dampak negatif pertambangan. Tanpa adanya program-program tersebut, potensi konflik sosial dan ketidakadilan akan semakin besar.
Kehilangan izin usaha oleh beberapa perusahaan tambang juga menjadi catatan penting. Hal ini menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat dan penegakan hukum yang konsisten. Pemerintah perlu memastikan bahwa perusahaan tambang beroperasi sesuai dengan aturan yang berlaku dan bertanggung jawab atas dampak lingkungan dan sosial dari kegiatannya.
Cornelis juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan investasi tambang. Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan diawasi secara berkala. Dengan demikian, pembangunan tambang dapat benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat Kalbar.
Kesimpulannya, pembangunan sektor pertambangan di Kalbar perlu dikaji ulang agar lebih berpihak pada masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, perlindungan lingkungan, dan transparansi dalam pengelolaan investasi tambang menjadi kunci keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan di Kalbar.