Konflik Agraria Kalbar: Pemprov Minta Bantuan DPR RI
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat meminta Komisi II DPR RI untuk membantu menyelesaikan konflik agraria yang pelik di wilayahnya, terutama yang melibatkan masyarakat dan perusahaan perkebunan.
Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, telah menyampaikan keprihatinan mendalam terkait konflik agraria yang berkepanjangan di sejumlah wilayah Kalimantan Barat. Permasalahan ini terutama muncul akibat banyaknya desa dan lahan perkebunan yang berada di kawasan hutan dan wilayah yang belum memiliki kejelasan status tata ruang. Konflik ini melibatkan masyarakat yang telah bermukim di kawasan tersebut sejak lama dan perusahaan perkebunan yang membuka lahan di luar Rencana Garis Umum (RGU).
Dalam rapat bersama Komisi II DPR RI di kantor Gubernur Kalbar pada Rabu, 7 Mei 2024, Krisantus menjelaskan bahwa 1.157 dari 2.046 desa di Kalbar terletak di sekitar kawasan hutan. Situasi ini menimbulkan kesulitan bagi warga, terutama ketika mereka dituduh melakukan tindakan kriminal seperti mengambil kayu untuk kebutuhan sehari-hari, meskipun telah bermukim di wilayah tersebut jauh sebelum penetapan kawasan hutan. "Banyak desa kami berada di kawasan hutan lindung dan konservasi, bahkan kawasan wisata. Ini menyulitkan warga, padahal mereka sudah tinggal di sana jauh sebelum penetapan kawasan tersebut," ungkap Krisantus.
Krisantus menekankan perlunya dukungan Komisi II DPR RI untuk menyelesaikan masalah ini. Ia mengusulkan peninjauan kembali data kawasan dan penyelarasan informasi antara data Kementerian ATR/BPN dengan data milik kabupaten/kota. "Kita perlu sinkronisasi data agar penyelesaian masalah agraria ini bisa tepat sasaran," tegasnya. Selain masalah agraria, ia juga menyoroti pentingnya optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kalbar dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang melimpah, seperti bauksit, batu bara, uranium, dan emas.
Sengketa Tanah dan Perusahaan Perkebunan
Bupati Landak, Karolin Margret Natasa, turut menyampaikan permasalahan sengketa tanah antara masyarakat dan perusahaan perkebunan di Kabupaten Landak. Ia mencontohkan beberapa perusahaan besar yang belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU), meskipun telah beroperasi selama puluhan tahun. "Contohnya, terdapat kebun-kebun yang belum memiliki HGU, namun sudah mengantongi izin usaha perkebunan. Ini menjadi masalah karena belum ada regulasi yang jelas mengenai sanksi atas kebun tanpa HGU. Apakah bisa dicabut? Kalau dicabut, biasanya kami justru digugat di pengadilan," jelas Karolin.
Karolin menjelaskan bahwa beberapa perusahaan, seperti Wilmar dan grup Jarum, masih dalam proses pengurusan HGU. Proses ini menghadapi kendala administrasi, bahkan beberapa perusahaan telah menunggu lebih dari satu tahun tanpa kejelasan. Pemerintah Kabupaten Landak, dalam hal ini, berperan sebagai mediator antara masyarakat dan perusahaan. Di satu sisi, investasi dibutuhkan untuk membuka lapangan kerja dan akses ke wilayah terpencil, tetapi di sisi lain, investasi harus memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
Sebagai upaya perlindungan hukum bagi masyarakat, Pemerintah Kabupaten Landak telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018, yang menetapkan minimal 30 persen lahan untuk kebun masyarakat. Perda ini telah melalui proses hukum hingga ke Mahkamah Agung dan dimenangkan. Namun, pelaksanaan di lapangan masih menghadapi kendala, termasuk pola kemitraan dan realisasi kebun untuk masyarakat.
Masalah lain yang dihadapi adalah HGU yang ditelantarkan. Perusahaan yang memiliki HGU tetapi tidak menggarap lahannya, tidak membayar gaji karyawan, dan tidak memberikan hak kepada petani mitra. Meskipun telah diberikan surat peringatan, pencabutan izin HGU bukan wewenang pemerintah daerah, sehingga proses penyelesaiannya tersendat. Bupati Landak meminta petunjuk dan tindak lanjut dari ATR/BPN untuk mengatasi masalah ini.
Peran Pemerintah Pusat dan Daerah
Permasalahan konflik agraria di Kalimantan Barat menunjukkan betapa kompleksnya isu ini, melibatkan berbagai pihak, mulai dari masyarakat, perusahaan perkebunan, pemerintah daerah, hingga pemerintah pusat. Solusi yang dibutuhkan memerlukan koordinasi dan kerja sama yang erat antara semua pihak yang terkait. Sinkronisasi data antara Kementerian ATR/BPN dan pemerintah daerah menjadi kunci penting dalam penyelesaian konflik agraria ini. Selain itu, regulasi yang jelas dan tegas terkait sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi aturan juga diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum.
Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan. Kalimantan Barat memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, namun belum dikelola secara maksimal. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan akan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat Kalbar. Peran Komisi II DPR RI diharapkan dapat mempercepat penyelesaian konflik agraria dan mendorong optimalisasi PAD di Kalimantan Barat.
Kejelasan status lahan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan perusahaan menjadi sangat penting dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dengan adanya dukungan dari pemerintah pusat dan komitmen dari semua pihak, diharapkan konflik agraria di Kalimantan Barat dapat segera terselesaikan dan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.