Krisis Lahan di Maluku Utara: DPD Usul Jeda Pemberian IUP
Anggota DPD RI, Graal Taliawo, mengusulkan jeda pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Maluku Utara untuk mengatasi krisis lahan pertanian dan perkebunan yang mengancam ketahanan pangan.
Jakarta, 2 Maret 2024 - Anggota Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Maluku Utara, Graal Taliawo, menyuarakan keprihatinan terkait krisis lahan pertanian dan perkebunan di daerahnya. Ia mendesak pemerintah untuk menerapkan kebijakan jeda pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) guna mencegah semakin parahnya permasalahan ini. Krisis lahan ini, menurutnya, disebabkan oleh alih fungsi lahan yang masif untuk kegiatan pertambangan, berdampak pada ketahanan pangan dan lingkungan Maluku Utara.
Pernyataan tersebut disampaikan Taliawo dalam keterangannya di Jakarta, Minggu lalu. Ia menuturkan bahwa dampak dari krisis lahan ini sudah sangat terasa di beberapa kabupaten di Maluku Utara. Salah satu contohnya adalah Kabupaten Pulau Taliabu yang hampir seluruh lahannya telah digunakan untuk pertambangan, sehingga menyebabkan kekurangan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Situasi serupa juga terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah, di mana sekitar 50 persen wilayahnya merupakan area konsesi pertambangan, sementara lahan pertanian hanya sekitar 2.600 hektare.
Menurut Taliawo, jika krisis lahan ini tidak segera diatasi, akan berdampak serius terhadap ketahanan pangan lokal. Masyarakat akan kesulitan memenuhi kebutuhan pangannya dan ketergantungan pada pasokan pangan dari luar daerah akan meningkat. Hal ini jelas menghambat upaya pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan nasional. Lebih jauh lagi, ia juga menyoroti dampak pencemaran lingkungan akibat kegiatan pertambangan yang berlebihan. Tiga teluk utama di Maluku Utara, yaitu Teluk Obi, Teluk Buli, dan Teluk Weda, telah tercemar logam berat, sehingga hasil perikanan di wilayah tersebut tidak lagi layak konsumsi.
Ancaman terhadap Ketahanan Pangan dan Lingkungan
Graal Taliawo menekankan pentingnya memperkuat komitmen untuk melaksanakan kebijakan mitigasi lingkungan melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ia meminta pemerintah pusat untuk mengevaluasi pelaksanaan AMDAL dan menindaklanjuti temuan pelanggaran, bahkan mencabut IUP jika terbukti ada pengabaian atau pelanggaran aturan. "Pemerintah pusat perlu untuk mengevaluasi pelaksanaan AMDAL dan menindaklanjuti, (bahkan) mencabut IUP jika terbukti ada pengabaian atau pelanggaran," tegasnya.
Masalah lain yang ditimbulkan oleh pemberian IUP yang berlebihan adalah konflik lahan antara perusahaan tambang dengan masyarakat adat dan masyarakat lokal. Di Maluku Utara, banyak terjadi konflik lahan antara perusahaan tambang dengan masyarakat adat Suku Tobelo Dalam di Halmahera Timur. Selain itu, sejumlah lahan pertanian dan perkebunan warga, bahkan area hutan lindung di beberapa desa di Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Selatan juga beririsan dengan lahan pertambangan.
Taliawo menyarankan agar sebelum IUP diberikan, harus dilakukan pemetaan lahan yang komprehensif untuk memastikan tidak ada tumpang tindih dengan lahan adat, hutan lindung, dan area pertanian. "Kami berharap, sebelum IUP diberikan, harus ada pemetaan lahan terlebih dahulu atas lahan adat, hutan lindung, area pertambangan, dan lainnya. Strategi pemetaan setiap lahan perlu jelas dan tidak boleh ada IUP diberikan sebelum ada pemetaan," katanya.
Tanggapan Pemerintah
Menanggapi permasalahan ini, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menyatakan komitmen pemerintah untuk mempercepat integrasi sistem perizinan guna meminimalisasi kendala birokrasi dan mengurangi tumpang tindih izin. Perbaikan tata kelola lokasi dan pemetaan lahan juga akan menjadi prioritas, termasuk penegakan aturan terkait reklamasi pascatambang.
Yuliot Tanjung juga menambahkan bahwa pemerintah terus berupaya meningkatkan pengawasan dan memastikan perusahaan tambang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. "Kami terus berupaya meningkatkan pengawasan dan memastikan bahwa perusahaan tambang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan," ujarnya.
Kesimpulannya, usulan jeda pemberian IUP oleh DPD RI ini menjadi sorotan penting dalam upaya menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan pelestarian lingkungan dan ketahanan pangan di Maluku Utara. Permasalahan ini membutuhkan solusi komprehensif yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat dan daerah, perusahaan tambang, serta masyarakat lokal.