Mantan Kacab Bank Syariah Negara Divonis 6,5 Tahun Penjara Kasus Korupsi KUR Porang
Mantan kepala cabang bank syariah negara di Mataram dan seorang offtaker divonis penjara dalam kasus korupsi penyaluran KUR porang tahun 2021-2022 dengan kerugian negara mencapai Rp13,2 miliar.
Pengadilan Tipikor Mataram menjatuhkan vonis terhadap Wawan Kurniawan Issyaputra, mantan kepala cabang bank syariah negara di Mataram, dan Datu Rahdin Jaya Wangsa, mantan anggota DPRD Lombok Tengah, terkait kasus korupsi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk petani porang tahun 2021-2022. Vonis dibacakan pada Rabu di Pengadilan Negeri Mataram. Kasus ini melibatkan kerugian negara yang cukup signifikan, mencapai Rp13,2 miliar.
Majelis hakim yang diketuai Mukhlassuddin menjatuhkan vonis 6 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp400 juta subsider 4 bulan kurungan kepada Wawan. Sementara itu, Datu divonis 8 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan. Datu juga dibebankan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp3,9 miliar atau menjalani hukuman penjara 3 tahun jika tidak mampu membayar.
Perbuatan kedua terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. Putusan mempertimbangkan klaim asuransi dari PT Asuransi Kredit Indonesia Syariah sebesar Rp9 miliar yang mengurangi total kerugian negara.
Korupsi Dana KUR Porang: Vonis Berat untuk Dua Terdakwa
Kasus ini berpusat pada penyaluran dana KUR untuk petani porang di Lombok Barat dan Lombok Tengah. Dana KUR disalurkan dalam bentuk barang pertanian dengan nilai bervariasi, mulai dari Rp5 juta hingga Rp12 juta per nasabah, melalui CV Alfizi Laksana dan PT Global Bumi Gora milik Datu. Total pencairan dana KUR mencapai Rp13,25 miliar.
Namun, penyaluran dana tersebut tidak sesuai prosedur. Sebagian besar dana KUR justru dinikmati oleh Datu, mantan anggota DPRD Lombok Tengah yang berperan sebagai offtaker atau pengumpul nasabah. Hal ini menunjukkan adanya penyimpangan dan penyalahgunaan dana yang diperuntukkan bagi kesejahteraan petani porang.
Peran Wawan sebagai mantan kepala cabang bank syariah negara turut menjadi sorotan. Putusan hakim menunjukkan adanya kelalaian atau bahkan keterlibatan aktif dalam proses penyaluran dana KUR yang berujung pada kerugian negara yang signifikan. Proses penyaluran yang tidak sesuai prosedur menjadi bukti kuat adanya pelanggaran hukum.
Kerugian Negara dan Pertimbangan Hakim
Total kerugian negara akibat korupsi ini mencapai Rp13,2 miliar berdasarkan audit BPKP NTB. Namun, hakim mempertimbangkan klaim asuransi dari PT Asuransi Kredit Indonesia Syariah sebesar Rp9 miliar dalam menentukan jumlah uang pengganti yang harus dibayarkan oleh Datu. Hal ini menunjukkan upaya pemulihan kerugian negara.
Meskipun terdapat klaim asuransi, vonis yang dijatuhkan kepada kedua terdakwa tetap tergolong berat. Hal ini mencerminkan keseriusan pengadilan dalam menangani kasus korupsi dan memberikan efek jera kepada para pelaku. Putusan ini juga diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi pihak-pihak terkait dalam pengelolaan dan penyaluran dana KUR di masa mendatang.
Proses hukum ini menandai pentingnya pengawasan yang ketat dalam penyaluran dana KUR agar tidak terjadi penyimpangan dan kerugian negara. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama dalam mencegah praktik korupsi serupa.
Kesimpulan
Putusan pengadilan terhadap mantan kepala cabang bank syariah dan offtaker dalam kasus korupsi KUR porang ini memberikan pesan tegas tentang penegakan hukum di Indonesia. Vonis yang dijatuhkan diharapkan dapat menjadi peringatan bagi siapapun yang terlibat dalam penyalahgunaan dana negara.