Masjid Tua Aceh Besar: Tradisi Takjil Ie Bu Peudah Bertahan Ratus Tahun
Masjid Bueng Sidom di Aceh Besar, masjid tua berusia ratusan tahun, membagikan ratusan paket takjil Ie Bu Peudah setiap hari selama Ramadhan, sebuah tradisi turun-temurun yang memperkuat ikatan komunitas.
Masjid Bueng Sidom di Kabupaten Aceh Besar, Aceh, telah menjadi saksi bisu perjalanan waktu selama ratusan tahun. Selama Ramadhan 1446 H/2025 M, masjid bersejarah ini melanjutkan tradisi mulia dengan membagikan takjil kepada masyarakat sekitar. Lebih dari seratus paket takjil dibagikan setiap hari, menjadi bukti nyata keteguhan iman dan kearifan lokal yang tetap lestari.
Tradisi berbagi takjil ini telah berlangsung turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi. Takjil yang dibagikan berupa Ie Bu Peudah, makanan khas Aceh berupa bubur nasi dengan berbagai macam dedaunan dan bumbu. Pengurus masjid, M Zein, menjelaskan bahwa bahan-bahannya berasal dari sumbangan warga sekitar, menunjukkan semangat gotong royong yang tinggi dalam menjaga tradisi ini.
Proses pembuatan Ie Bu Peudah pun sarat akan nilai-nilai kebersamaan. Setiap hari, selama dua jam mulai pukul 14.00 WIB, masyarakat bahu-membahu memasak bubur tersebut dalam kuali besar. Masyarakat kemudian mengambil takjil setelah sholat Ashar, membawa wadah masing-masing sebagai bentuk penghormatan dan kesederhanaan.
Tradisi Ie Bu Peudah dan Masjid Bueng Sidom
Ie Bu Peudah, takjil yang dibagikan, bukan sekadar makanan. Ia merupakan simbol kekayaan kuliner Aceh dan perekat kebersamaan masyarakat. M Zein menekankan bahwa hampir setiap hari, Ie Bu Peudah yang dimasak habis dibagikan kepada warga setempat. Hal ini menunjukkan betapa tradisi ini telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat sekitar.
Lebih dari sekadar tradisi berbagi makanan, kegiatan ini juga memperkuat ikatan sosial dan mempererat hubungan antarwarga. Kegiatan ini menjadi bukti nyata bagaimana nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal dapat berjalan beriringan, menciptakan harmoni dan kebersamaan di tengah masyarakat.
Masjid Bueng Sidom sendiri memiliki sejarah yang panjang dan penuh makna. Menurut literasi, masjid ini pernah dibakar oleh penjajah Belanda pada tahun 1834 M. Namun, semangat masyarakat untuk menjaga dan melestarikan masjid ini tetap berkobar hingga saat ini.
Arsitektur dan Sejarah Masjid Bueng Sidom
Masjid Bueng Sidom memiliki arsitektur unik yang membedakannya dari masjid-masjid lain di Aceh. Bangunannya sebagian besar terbuat dari kayu, dengan 16 pilar kayu besar yang menopang bangunan. Kubahnya berbentuk segitiga, berbeda dari kubah bulat yang umum ditemukan di masjid-masjid Aceh lainnya. Hal ini menunjukkan kekayaan arsitektur tradisional Aceh yang beragam.
Keunikan arsitektur dan sejarah panjang Masjid Bueng Sidom telah menjadikan masjid ini sebagai situs cagar budaya yang dilindungi oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I Provinsi Aceh. Lokasi masjid yang tidak jauh dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda juga menjadikannya mudah diakses oleh para pengunjung.
Nur Latifah, warga setempat berusia 79 tahun, mengungkapkan bahwa Masjid Bueng Sidom telah ada sejak orang tuanya masih kecil. Ayahnya bahkan pernah menjabat sebagai imam di masjid tersebut. Kisah ini menunjukkan betapa masjid ini telah menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial masyarakat selama bergenerasi.
Tradisi berbagi takjil di Masjid Bueng Sidom merupakan contoh nyata bagaimana nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal dapat dijaga dan dilestarikan. Kegiatan ini tidak hanya sekadar berbagi makanan, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan mempererat hubungan antarwarga. Masjid Bueng Sidom, dengan sejarahnya yang kaya dan tradisi yang lestari, menjadi simbol keteguhan iman dan kebersamaan masyarakat Aceh.