Padi Apung di Kelua, Tabalong: Inovasi Pertanian di Lahan Lebak
Tiga desa di Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, menjadi percontohan pengembangan sistem padi apung untuk mengoptimalkan lahan lebak, dengan dukungan APBD dan Bank Indonesia.
Pemerintah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, telah menetapkan tiga desa di Kecamatan Kelua sebagai percontohan pengembangan sistem pertanian padi apung. Inovasi ini bertujuan untuk mengoptimalkan lahan lebak yang selama ini belum termanfaatkan secara maksimal. Sistem ini diujicobakan di Desa Ampukung dan Desa Hapalah sejak tahun 2024, dan kini meluas ke Desa Masintan. Upaya ini merupakan jawaban atas tantangan pemanfaatan lahan yang efektif dan efisien di wilayah tersebut.
Kepala Seksi Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Ketahanan Pangan Perikanan Tanaman Pangan dan Hortikultura (DKPPTPH) Kabupaten Tabalong, Budi Santoso, menjelaskan bahwa pengembangan sistem padi apung di tiga desa ini mendapat dukungan dari berbagai sumber. Desa Masintan, misalnya, menerima bantuan 250 styrofoam, pot, dan benih padi varietas Inpari Nutri Zinc dari APBD Kabupaten Tabalong. Sementara itu, Desa Ampukung mendapat bantuan yang lebih besar dari Bank Indonesia, mencakup 1.700 styrofoam untuk 31 lubang tanam, 35.000 pot, dan berbagai penunjang lainnya.
Meskipun tergolong inovatif, pengembangan sistem padi apung ini menghadapi tantangan tersendiri. Budi Santoso mengakui bahwa biaya penanaman sistem padi apung jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penanaman padi di lahan sawah konvensional. Diperkirakan, biaya untuk satu hektare lahan padi apung bisa mencapai ratusan juta rupiah. Oleh karena itu, dukungan dari pihak ketiga sangat diperlukan untuk mengurangi beban biaya yang ditanggung oleh kelompok tani.
Pengembangan Padi Apung di Desa-Desa Kecamatan Kelua
Pengembangan sistem padi apung di Desa Ampukung dan Desa Hapalah telah dimulai sejak tahun 2024, dan kini telah mencakup Desa Masintan. Ketiga desa ini dipilih sebagai percontohan karena memiliki kondisi lahan lebak yang sesuai untuk pengembangan sistem ini. Bantuan yang diberikan meliputi styrofoam sebagai media tanam, pot, benih padi varietas unggul, dan berbagai perlengkapan pendukung lainnya. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah dalam mendukung inovasi pertanian di wilayah tersebut.
Pemilihan varietas padi Inpari Nutri Zinc di Desa Masintan dan Desa Ampukung didasarkan pada keunggulannya dalam hal nutrisi dan produktivitas. Varietas ini diharapkan dapat menghasilkan panen yang melimpah meskipun ditanam dengan sistem apung. Sementara itu, uji coba periode 2024 diprediksi akan memasuki masa panen pada bulan April 2025. Hasil panen nantinya akan menjadi evaluasi penting untuk pengembangan sistem ini di masa mendatang.
Dukungan dari Bank Indonesia untuk Desa Ampukung menunjukkan sinergi yang baik antara pemerintah dan lembaga keuangan dalam mendorong kemajuan sektor pertanian. Bantuan yang diberikan cukup signifikan dan diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat setempat. Keberhasilan program ini akan menjadi contoh bagi daerah lain dalam mengembangkan sistem pertanian yang inovatif dan berkelanjutan.
Tantangan dan Potensi Padi Apung
Meskipun menawarkan solusi untuk pemanfaatan lahan lebak, sistem padi apung memiliki tantangan tersendiri, terutama dari segi biaya. Biaya yang dibutuhkan untuk penanaman cukup besar, diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah per hektare. Hal ini menjadi kendala utama dalam pengembangan sistem ini secara luas.
Untuk mengatasi kendala biaya, dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga keuangan, dan sektor swasta. Kerjasama ini sangat penting untuk mengurangi beban biaya yang ditanggung oleh kelompok tani dan memastikan keberlanjutan program ini. Dengan demikian, potensi sistem padi apung dapat dioptimalkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai perbandingan, pengembangan sistem padi apung pernah dilakukan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan menggunakan varietas padi Mekongga. Varietas ini menunjukkan potensi produksi yang tinggi, dengan satu pot menghasilkan sekitar 20 anakan dan potensi produksi lebih dari 6 ton padi per hektare. Pengalaman ini dapat menjadi referensi berharga dalam pengembangan sistem padi apung di Kecamatan Kelua.
Keberhasilan pengembangan sistem padi apung di Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong, diharapkan dapat menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia yang memiliki lahan lebak serupa. Inovasi ini tidak hanya meningkatkan produktivitas pertanian, tetapi juga memberikan solusi dalam pemanfaatan lahan yang optimal dan berkelanjutan. Dukungan dari berbagai pihak sangat penting untuk memastikan keberhasilan dan pengembangan sistem ini di masa mendatang.