Paradoks Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, Namun Ketimpangan Justru Melebar
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi justru diiringi dengan peningkatan ketimpangan pendapatan antara kelompok kaya dan miskin, menimbulkan paradoks yang perlu segera diatasi.
Jakarta, 8 Maret 2025 (ANTARA) - Indonesia tengah menghadapi paradoks ekonomi yang memprihatinkan. Pertumbuhan ekonomi yang signifikan justru dibarengi dengan peningkatan ketimpangan pendapatan yang semakin menganga. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan gini ratio dan disparitas pengeluaran antara kelompok 20 persen terkaya dan 40 persen termiskin. Meskipun Indonesia telah berstatus upper middle-income country dengan PDB per kapita yang tinggi, kenyataannya, pertumbuhan ekonomi belum dinikmati seluruh lapisan masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat, tercermin dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi, seharusnya mampu menekan angka ketimpangan. Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Data BPS menunjukkan peningkatan gini ratio dari 0,379 pada Maret 2024 menjadi 0,381 pada September 2024. Ini menggambarkan bahwa "yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin" bukan sekadar ungkapan klise, melainkan realita yang terjadi di Indonesia.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam: mengapa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak berdampak pada pengurangan ketimpangan? Pertanyaan ini mengarah pada analisis mendalam mengenai model pembangunan ekonomi Indonesia yang tampaknya masih berpihak pada kelompok ekonomi atas, menciptakan siklus yang memperlebar jurang pemisah antara kelompok kaya dan miskin.
Melebarnya Kesenjangan: Analisis Data BPS
Data BPS menunjukkan peningkatan proporsi pengeluaran kelompok 20 persen terkaya sebesar 0,33 persen poin selama periode Maret-September 2024, dari 45,91 persen menjadi 46,24 persen. Sementara itu, pengeluaran kelompok 40 persen terbawah hanya meningkat 0,01 persen poin, dari 18,40 persen menjadi 18,41 persen. Angka ini menunjukkan kontras yang tajam dan mengkhawatirkan.
Meskipun PDB per kapita Indonesia mencapai Rp78,6 juta atau 4.960,3 dolar AS pada tahun 2024, angka ini tidak mencerminkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Sebagian besar manfaat pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh kelompok ekonomi atas, sementara kelompok miskin masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Kondisi ini selaras dengan teori Kuznets Curve yang menyatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, ketimpangan cenderung meningkat sebelum akhirnya menurun. Namun, Indonesia tampaknya belum berhasil melewati fase awal tersebut. Ketimpangan justru semakin melebar, menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan belum efektif dalam mendistribusikan hasil pertumbuhan ekonomi secara merata.
Perbandingan dengan Negara Lain dan Implikasinya
Berbeda dengan Indonesia, negara-negara seperti China telah berhasil mengelola ketimpangan tinggi melalui kebijakan redistribusi pendapatan yang tepat. China, yang pernah menghadapi kesenjangan ekonomi yang tajam, mampu menekan ketimpangan dengan strategi redistribusi yang agresif, termasuk pajak progresif, peningkatan belanja sosial, dan program pembangunan pedesaan.
Model pembangunan ekonomi Indonesia yang terlalu berorientasi pada modal besar menjadi salah satu penyebab utama ketimpangan. Investasi lebih banyak mengalir ke sektor padat modal, menciptakan keuntungan besar bagi investor tetapi sedikit lapangan kerja. Akibatnya, kelompok kaya semakin menguasai pasar, sementara kelompok miskin dan kelas pekerja hanya menjadi penonton.
Rendahnya mobilitas sosial akibat ketidaksetaraan akses pendidikan dan kesehatan juga memperparah ketimpangan. Anak-anak dari keluarga miskin kesulitan mengakses pendidikan berkualitas, membatasi peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah layak. Akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas juga masih sangat bergantung pada kemampuan ekonomi.
Kebijakan Fiskal dan Tantangan ke Depan
Kebijakan fiskal yang progresif, seperti pajak kekayaan dan pajak warisan, dapat menjadi instrumen efektif untuk mengurangi ketimpangan. Namun, sistem perpajakan Indonesia masih belum optimal dalam menjalankan fungsi redistribusi. Rasio pajak terhadap PDB masih rendah, dan beban pajak lebih banyak ditanggung oleh kelompok menengah.
Ketimpangan ekonomi yang terus melebar bukan hanya masalah statistik, tetapi juga ancaman nyata bagi stabilitas sosial dan politik. Ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dapat menimbulkan frustrasi sosial dan ketidakstabilan. Indonesia perlu mengubah strategi pembangunan agar benar-benar mengutamakan pemerataan, dengan memprioritaskan investasi dalam sektor pendidikan dan kesehatan, serta menciptakan pertumbuhan ekonomi berbasis tenaga kerja.
Pemerintah perlu mendorong sektor-sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja, seperti manufaktur dan pertanian modern, dan memberikan dukungan lebih besar kepada UMKM. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus menjadi sarana untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih merata bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir orang.
Masa depan Indonesia bergantung pada seberapa luas manfaat pertumbuhan ekonomi dirasakan oleh seluruh rakyat. Jika pertumbuhan ekonomi tidak menciptakan kesejahteraan yang inklusif, status sebagai negara berpendapatan menengah atas hanya akan menjadi pencapaian di atas kertas.