PHK di Indonesia: Penyebab dan Upaya Pemerintah
Ribuan pekerja di Indonesia terkena PHK, terutama di sektor tekstil dan elektronik; pemerintah berupaya mengurangi dampaknya melalui subsidi gas, revisi regulasi impor, dan relokasi pekerja.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi isu krusial di Indonesia, terutama setelah PT Sri Rejeki Isman (Sritex) dan PT Sanken Indonesia melakukan PHK besar-besaran. Sritex memberhentikan lebih dari 10.000 karyawan, sementara Sanken lebih dari 450 karyawan. Fenomena ini menunjukkan perlambatan industri manufaktur dalam negeri dan penurunan daya beli masyarakat. Namun, akar permasalahan PHK juga bisa disebabkan oleh pergeseran strategi bisnis atau keterlambatan antisipasi perkembangan teknologi.
Kasus PT Sanken Indonesia menjadi contoh. Pemerintah menyatakan penutupan pabrik produsen switch mode power supplies dan transformator di MM2100 Cikarang, Bekasi, bukan karena iklim bisnis Indonesia, melainkan keputusan induk perusahaan di Jepang untuk memindahkan basis produksi ke sektor semikonduktor. Sementara PHK di Sritex disebabkan oleh ketidakmampuan perusahaan membayar utang lebih dari Rp25 triliun yang mengakibatkan kebangkrutan. Impor yang membanjir juga turut mempengaruhi 62 perusahaan tekstil yang tutup dalam dua tahun terakhir.
Meskipun demikian, Kementerian Perindustrian melaporkan pertumbuhan industri manufaktur dengan jumlah penyerapan tenaga kerja baru yang melampaui angka PHK. Data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) menunjukkan sektor industri nasional menyerap 1.082.998 pekerja baru pada tahun 2024, melampaui angka PHK sebanyak 48.345 yang dilaporkan Kementerian Ketenagakerjaan periode yang sama. Data ini menunjukkan banyak perusahaan manufaktur baru berdiri dan menyerap lebih banyak pekerja baru dibandingkan jumlah PHK di berbagai sektor ekonomi.
Peran Pemerintah dalam Mengatasi PHK
Pemerintah berupaya meminimalisir dampak PHK melalui berbagai insentif untuk meningkatkan ketahanan pabrik dan mencegah penutupan. Salah satunya adalah perpanjangan kebijakan subsidi gas industri melalui Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 76K Tahun 2025. Meskipun harga subsidi gas naik US$0,5 menjadi US$7 per MMBtu, sektor industri penerima mengakui kebijakan ini akan meningkatkan kinerja. Sektor penerima HGBT meliputi pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Sebagai contoh, Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) meyakini kebijakan ini akan mendorong kinerja sektor keramik dan mencegah PHK. Dengan HGBT, Asaki akan melanjutkan ekspansi tahap kedua senilai Rp4 triliun yang sebelumnya tertunda, yang diharapkan meningkatkan kapasitas produksi keramik dalam negeri dan menyerap 5.000 pekerja.
Untuk mengatasi membanjirnya produk impor yang mengurangi daya saing sektor tekstil dan elektronik, pemerintah berencana merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 yang dianggap sebagai kebijakan relaksasi impor. Kementerian Perdagangan akan merevisi peraturan tersebut dengan merujuk pada regulasi masing-masing komoditas, terutama pakaian jadi yang dinilai telah membanjiri industri tekstil dalam negeri.
Pemerintah juga berupaya menyerap kembali pekerja yang terkena PHK melalui relokasi tenaga kerja atau penciptaan lapangan kerja baru. Untuk Sritex, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah akan menyerap pekerja yang terdampak melalui kerjasama dengan beberapa perusahaan. PT Sanken Indonesia menawarkan relokasi pekerja ke perusahaan sejenis, berdasarkan hasil Penanaman Modal Asing (PMA) Jepang. Metode ini juga diterapkan perusahaan lain yang mengalami penutupan.
Rasio Penyerapan Tenaga Kerja
Rasio pekerja baru yang terserap di sektor manufaktur dibandingkan yang terkena PHK mencapai 1:20 pada tahun 2024. Artinya, untuk setiap satu pekerja yang terkena PHK, sektor manufaktur mampu menciptakan dan menyerap 20 pekerja baru. Rasio ini meningkat dari 1:5 pada tahun 2022, menjadi 1:7 pada tahun 2023, dan 1:20 pada tahun 2024, menunjukkan kinerja positif sektor manufaktur Indonesia dalam menyerap tenaga kerja.
Jumlah pekerja industri pengolahan non migas juga terus meningkat, dari 17,43 juta pada tahun 2020 menjadi 19,96 juta pada tahun 2024, atau meningkat 2,53 juta orang. Upaya-upaya pemerintah ini menunjukkan komitmen dalam meminimalisir dampak PHK. Pemerintah dan pelaku industri harus terus mempersiapkan langkah antisipatif untuk meminimalisir kemungkinan PHK atau kebangkrutan perusahaan.