Praktisi Hukum Usul Penyidikan Tetap di Tangan Kepolisian dalam Revisi KUHAP
Praktisi hukum Maqdir Ismail mengusulkan agar penyidikan dalam revisi KUHAP tetap menjadi tugas kepolisian, dengan pengawasan hakim untuk memastikan proses hukum berjalan baik.
Jakarta, 15 Maret 2025 - Perdebatan mengenai revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali memanas. Praktisi hukum terkemuka, Maqdir Ismail, menyatakan bahwa tugas penyidikan sebaiknya tetap berada di tangan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pernyataan ini disampaikan menyusul persetujuan DPR RI terhadap RUU perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai RUU usul inisiatif DPR RI pada 18 Februari 2025 lalu. Pernyataan tersebut menimbulkan perbincangan hangat di kalangan hukum dan masyarakat luas.
Menurut Maqdir, efektivitas penyidikan akan lebih terjamin jika dilakukan oleh penyidik Polri. Ia menekankan pentingnya pemisahan kewenangan yang jelas antara penyidikan (Polri) dan penuntutan (Kejaksaan). Kejaksaan, menurutnya, harus fokus pada kewenangannya dalam menjalankan penuntutan dan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Namun, Maqdir memberikan pengecualian. Ia menyetujui kemungkinan jaksa mengambil alih penyidikan jika penyidik Polri dinilai tidak mampu menyelesaikan suatu perkara. Hal ini, menurutnya, diperlukan untuk memastikan kepastian hukum dalam proses penyidikan.
Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Peran Hakim Pengawas
Maqdir Ismail juga menyoroti peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Ia berpendapat bahwa keberadaan PPNS sebaiknya dihapus, dan fungsinya digantikan oleh tenaga ahli yang mendukung penyidik Polri. Pengetahuan khusus yang dimiliki PPNS, menurutnya, lebih efektif jika diintegrasikan sebagai keahlian pendukung dalam proses penyidikan.
Lebih lanjut, Maqdir menjelaskan, "Sekiranya masih dianggap perlu ada PPNS maka fungsi mereka melakukan penyidikan terhadap pelanggaran administratif, bukan perbuatan pidana yang merupakan kejahatan." Pernyataan ini menegaskan perlunya pembatasan peran PPNS agar tidak tumpang tindih dengan kewenangan penyidik Polri dalam menangani kasus pidana.
Sebagai solusi untuk memastikan proses penyidikan dan penuntutan berjalan sesuai hukum, Maqdir mengusulkan adanya hakim pengawas. Hakim pengawas ini akan mengawasi kegiatan penyidik dan penuntut umum sebelum perkara sampai ke persidangan, sehingga dapat mencegah potensi penyimpangan dan memastikan keadilan terwujud.
Proses Persetujuan RUU KUHAP di DPR RI
RUU KUHAP telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 18 Februari 2025. Setelah seluruh fraksi menyampaikan pandangannya secara tertulis, RUU ini resmi menjadi RUU usul inisiatif DPR RI. Komisi III DPR RI telah memulai pembahasan RUU ini sejak masa sidang setelah reses awal tahun 2025, dengan mengundang berbagai narasumber, termasuk Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
RUU KUHAP masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Komisi III DPR RI menilai revisi KUHAP sangat penting dan mendesak, mengingat berlakunya KUHP baru pada 2 Januari 2026. Pengesahan KUHAP dianggap krusial karena merupakan hukum formal yang akan mengoperasikan KUHP sebagai hukum materiil. Oleh karena itu, semangat politik hukum KUHAP harus selaras dengan semangat politik hukum yang terkandung dalam KUHP baru.
Dengan adanya usulan dari praktisi hukum seperti Maqdir Ismail, diharapkan revisi KUHAP dapat menghasilkan sistem peradilan pidana yang lebih efektif, efisien, dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Proses revisi ini tentunya memerlukan pertimbangan yang matang dari berbagai pihak agar menghasilkan produk hukum yang optimal dan sesuai dengan kebutuhan hukum di Indonesia saat ini.