Ronald Tannur Klaim Tak Tahu Tawaran Uang Damai Kasus Kematian Dini Sera Afrianti
Ronald Tannur, terpidana kasus kematian Dini Sera Afrianti, membantah mengetahui adanya tawaran uang damai dari penasihat hukumnya kepada keluarga korban, mengungkapkan versi berbeda terkait penyebab kematian Dini.
Sidang kasus dugaan suap dan gratifikasi terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa. Dalam persidangan tersebut, terpidana Gregorius Ronald Tannur memberikan kesaksian mengejutkan. Ia mengaku tidak mengetahui adanya tawaran uang damai dari penasihat hukumnya, Lisa Rachmat, kepada keluarga Dini Sera Afrianti, korban yang meninggal dalam kasus yang melibatkan Ronald.
Ronald menyatakan tidak ada koordinasi atau komunikasi antara dirinya dengan keluarga korban selama proses hukum. "Saya hanya meminta maaf dan mencium kaki Ibu Dini ketika di Polrestabes Surabaya," ujar Ronald. Ia menegaskan bahwa permintaan maaf tersebut dilandasi rasa bersalah atas kerugian yang ditimbulkan, bukan karena tindakan spesifik terhadap Dini.
Meskipun demikian, Ronald mengakui pernah menyiapkan tiket pesawat untuk orang tua dan kakak Dini saat menjalani proses hukum di Polrestabes Surabaya. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut mengenai hubungan dan komunikasi yang sebenarnya terjadi antara Ronald dan keluarga korban.
Kesaksian Ronald Tannur dan Dugaan Suap
Dalam kesaksiannya, Ronald Tannur juga menjelaskan peristiwa malam kematian Dini. Ia mengatakan bahwa dirinya dan Dini sedang mabuk setelah mengonsumsi alkohol. "Jadi sepertinya Dini meninggal karena asam lambungnya naik setelah minum alkohol itu," ungkap Ronald. Pernyataan ini menjadi bagian penting dari kasus ini, mengingat penyebab kematian Dini masih menjadi perdebatan.
Kesaksian Ronald Tannur diberikan dalam sidang tiga hakim nonaktif PN Surabaya, Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul. Ketiga hakim tersebut didakwa menerima suap sebesar Rp4,67 miliar dan gratifikasi dalam kasus yang menyebabkan Ronald Tannur divonis bebas pada tahun 2024. Rincian suap tersebut meliputi uang tunai dan transfer senilai Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura.
Uang tersebut diterima secara bertahap oleh ketiga hakim dari Ibu Ronald, Meirizka Widjaja Tannur, dan Lisa Rachmat. Pembagiannya bervariasi, dengan jumlah yang berbeda diterima oleh masing-masing hakim. Ketiga terdakwa diduga mengetahui bahwa uang tersebut bertujuan untuk membebaskan Ronald Tannur dari seluruh dakwaan.
Gratifikasi dan Tindakan Hukum
Selain suap, ketiga hakim juga diduga menerima gratifikasi dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing lainnya, seperti dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi. Tindakan para terdakwa ini diatur dan diancam pidana dalam beberapa pasal UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Pernyataan Ronald Tannur yang membantah mengetahui tawaran uang damai kepada keluarga Dini menimbulkan pertanyaan baru dan akan menjadi pertimbangan penting dalam proses persidangan. Kasus ini menyoroti kompleksitas hukum dan etika dalam sistem peradilan, serta pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum.
Sidang kasus ini masih berlanjut, dan diharapkan akan memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai peran masing-masing pihak yang terlibat, termasuk peran Ronald Tannur dalam kasus kematian Dini dan dugaan suap yang melibatkan tiga hakim PN Surabaya. Publik menantikan perkembangan selanjutnya dan berharap keadilan akan ditegakkan.