RUU KUHAP: Akademisi Tekankan Pentingnya Sosialisasi yang Melibatkan Masyarakat
Guru Besar Fakultas Hukum UKI, Prof. Mompang Panggabean, menekankan pentingnya sosialisasi RUU KUHAP yang melibatkan masyarakat untuk menghasilkan produk hukum yang komprehensif dan berkeadilan.
Jakarta, 25 April 2024 - Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah menjadi sorotan. Prof. Mompang Panggabean, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), menyatakan keprihatinannya dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses sosialisasi RUU ini. Beliau berpendapat bahwa keterlibatan masyarakat merupakan kunci utama dalam menghasilkan produk hukum yang adil dan sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan Prof. Mompang menanggapi proses penyusunan RUU KUHAP yang tengah berlangsung. Menurutnya, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) mewajibkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembuatan produk hukum. Dengan demikian, kajian akademik yang mendalam dan komprehensif dapat dilakukan untuk memastikan RUU KUHAP yang baru dapat berjalan beriringan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.
Lebih lanjut, Prof. Mompang mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam penerapan KUHAP. "Penerapan KUHAP butuh kehati-hatian, juga melibatkan masyarakat," tegasnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat. Beliau menekankan bahwa RUU KUHAP tidak hanya sekadar revisi, tetapi sebuah upaya pembaruan sistem hukum pidana secara integral, yang meliputi hukum pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana.
Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan RUU KUHAP
Prof. Mompang menjelaskan bahwa pembaruan sistem hukum pidana harus mempertimbangkan nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia. Hal ini penting untuk memastikan bahwa RUU KUHAP selaras dengan kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Beliau juga menyinggung berbagai putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengubah pasal-pasal tertentu dalam KUHAP, serta prinsip-prinsip hukum acara pidana internasional, terutama due process of law (proses hukum yang adil).
Berbagai instrumen hukum internasional, seperti keadilan restoratif (restorative justice), perlindungan terhadap kelompok rentan, dan perlindungan terhadap advokat, telah diadopsi ke dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini selaras dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. "Untuk itu, pembaruan hukum acara pidana secara menyeluruh sebagai ius constituendum merupakan kebutuhan mendesak," tuturnya.
Prof. Mompang juga mengkritik ketidakseimbangan dalam sistem peradilan pidana Indonesia, di mana korban kejahatan seringkali diabaikan, sementara hak-hak tersangka justru sangat banyak diatur. Beliau berpendapat bahwa terlalu banyaknya hak yang diberikan kepada tersangka dapat memperumit proses pidana dan menciptakan ketimpangan, sementara dalam KUHP baru, hak-hak korban kejahatan telah diatur lebih rinci.
Selain itu, beliau juga menekankan pentingnya pencegahan disparitas pemidanaan agar aparat penegak hukum tidak bertindak semena-mena. Salah satu solusi yang diusulkan adalah melalui rekrutmen hakim yang memiliki integritas dan kapasitas mumpuni, meningkatkan keberanian hakim, dan penguatan sistem informasi penelusuran perkara untuk membantu hakim menerapkan sanksi pidana sesuai dengan ide individualisasi pidana dalam KUHP baru.
Target Penyelesaian RUU KUHAP
Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, menambahkan bahwa DPR saat ini tengah fokus membahas RUU KUHAP dengan menyerap aspirasi dari berbagai pihak. RUU ini dianggap sangat penting dan ditargetkan selesai pada tahun 2025. "RUU KUHAP harus tuntas pada tahun 2025 untuk mengejar RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang mulai diberlakukan pada tahun 2026," kata Rudianto.
Beliau juga menjelaskan bahwa UU KUHAP yang berlaku saat ini sudah usang, yaitu sejak tahun 1981. Banyak norma-norma di dalamnya yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu, penyelesaian RUU KUHAP pada tahun ini dianggap penting agar dapat berjalan beriringan dengan KUHP yang akan berlaku pada 2 Januari 2026.
Kesimpulannya, RUU KUHAP membutuhkan sosialisasi yang komprehensif dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Hal ini penting untuk memastikan RUU tersebut adil, efektif, dan sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan di Indonesia. Proses ini juga perlu mempertimbangkan keseimbangan antara hak-hak tersangka dan korban kejahatan, serta mencegah disparitas pemidanaan.