Satu Peta Hutan: Solusi Tertibkan Lahan Sawit di Indonesia?
Guru Besar IPB, Yanto Santosa, mendorong penerapan Satu Peta Hutan untuk menertibkan lahan sawit secara arif dan bijaksana, sekaligus menghindari konflik sosial.
Jakarta, 10 Maret 2024 - Polemik lahan sawit di Indonesia kembali mencuat. Permasalahan ini menyoroti perlunya kebijakan yang tegas namun adil untuk menertibkan lahan sawit yang berada di kawasan hutan. Menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Yanto Santosa, penerapan kebijakan Satu Peta Hutan (one map policy) menjadi kunci penyelesaian masalah ini.
Permasalahan ini melibatkan banyak pihak, termasuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Transmigrasi, serta masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit. Kurangnya sinkronisasi data dan peta kepemilikan lahan menyebabkan tumpang tindih dan konflik. Prof. Yanto menekankan pentingnya penyelesaian masalah ini secara arif dan bijaksana, dengan mempertimbangkan keberlanjutan industri kelapa sawit baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Penerapan Perpres No 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan menjadi landasan utama dalam upaya ini. Namun, implementasinya membutuhkan acuan peta yang tunggal dan disepakati bersama. Prof. Yanto menyoroti pentingnya pengukuhan kawasan hutan sebagai langkah awal sebelum penertiban lahan sawit yang berada di dalamnya.
Pengukuhan Kawasan Hutan: Langkah Krusial Menuju Satu Peta
Prof. Yanto menegaskan pentingnya pengukuhan kawasan hutan sebagai langkah awal dalam penertiban lahan sawit. Proses ini melibatkan penetapan status legal dan legitimate suatu wilayah sebagai kawasan hutan. Ia menekankan perlunya keterlibatan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat setempat, dalam proses pengukuhan ini. Hal ini bertujuan untuk menghindari penetapan sepihak yang dapat memicu konflik sosial.
“Harusnya Satgas Penertiban Kawasan Hutan bergerak dengan mengacu kepada peta hasil penetapan kawasan hutan yang telah dikukuhkan/ditetapkan. Perlu pengukuhan kawasan hutan dulu. Jangan menggunakan peta hutan versi Kehutanan yang belum dikukuhkan, belum ditetapkan,” tegas Prof. Yanto.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa konsultasi publik dan transparansi sangat penting dalam proses ini. Masyarakat dan pihak terkait harus diberi kesempatan untuk memberikan masukan dan keberatan. Setelah penataan batas dan konsultasi publik, pemerintah akan menetapkan kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa dari total 16,38 juta hektare kebun kelapa sawit, sekitar 3,3 juta hektare berada di dalam kawasan hutan. Inventarisasi yang cermat dan kolaboratif sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi lahan-lahan tersebut.
Mencari Solusi yang Menguntungkan Semua Pihak
Prof. Yanto menyatakan dukungannya terhadap semangat Perpres No 5 Tahun 2025. Namun, ia juga menekankan pentingnya solusi yang adil dan menguntungkan semua pihak. Ia menilai bahwa regulasi yang ada dalam Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya Pasal 110A dan 110B, sudah cukup baik dengan adanya sanksi denda.
“Win win solution. Intinya jangan sampai ada gembar-gembor seperti perpres, (lahan sawit) langsung dikuasai negara,” ujar Prof. Yanto. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan yang berimbang, tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga pada penyelesaian masalah secara berkelanjutan dan berkeadilan.
Penerapan Satu Peta Hutan diharapkan dapat menjadi solusi yang efektif dan efisien dalam menertibkan lahan sawit di Indonesia. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen semua pihak untuk berkolaborasi dan mengedepankan prinsip transparansi dan keadilan.
Proses ini membutuhkan kehati-hatian dan pemahaman yang mendalam akan kompleksitas permasalahan yang ada. Dengan pendekatan yang tepat, diharapkan penertiban lahan sawit dapat dilakukan tanpa menimbulkan konflik sosial dan kerugian ekonomi yang signifikan.