Uji Materi UU Kementerian Negara: Wamen Diminta Tak Rangkap Jabatan
Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies mengajukan uji materi UU Kementerian Negara ke MK, meminta larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri agar sesuai dengan ketentuan menteri.
Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies, Juhaidy Rizaldy Roringkon, telah mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi ini berfokus pada Pasal 23 UU Kementerian Negara, dengan tuntutan utama untuk melarang wakil menteri (wamen) merangkap jabatan. Permohonan ini diajukan karena Juhaidy merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh pasal tersebut yang hanya mengatur larangan rangkap jabatan bagi menteri, tanpa mencantumkan larangan serupa untuk wamen.
Menurut Juhaidy, ketidakjelasan aturan ini merugikan calon komisaris dan/atau dewan pengawas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti dirinya. Ia berpendapat bahwa wamen, yang dekat dengan kekuasaan, memiliki keunggulan dalam persaingan perebutan posisi tersebut. "Dengan tidak [ada] larangan dalam UU Kementerian Negara, Pemohon yang juga nantinya berkesempatan menjadi komisaris dan/atau dewan pengawas BUMN akan tertutup karena akan bersaing dengan para wakil menteri yang telah dekat dengan kekuasaan dan tidak dapat lagi menjadi kandidat komisaris yang seperti harapan pemohon di masa depan nanti," ujar Juhaidy seperti dikutip dari berkas permohonan.
Pasal 23 UU Kementerian Negara yang diuji materi ini berbunyi: “Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.” Juhaidy menyoroti fakta bahwa setidaknya enam wamen saat ini merangkap jabatan sebagai komisaris dan/atau dewan pengawas BUMN, sebuah kondisi yang menurutnya tidak adil dan perlu diperbaiki.
Pertimbangan Hukum dan Putusan MK Sebelumnya
Juhaidy mengutip Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 sebagai dasar permohonannya. Putusan tersebut menyatakan bahwa wakil menteri seharusnya dilarang merangkap jabatan, sama seperti menteri. Mahkamah berpendapat bahwa pengangkatan dan pemberhentian wamen merupakan hak prerogatif Presiden, sama seperti menteri. Oleh karena itu, status wamen seharusnya setara dengan menteri sehingga seluruh larangan rangkap jabatan dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara juga berlaku bagi mereka. Namun, permohonan pada saat itu dinyatakan tidak dapat diterima karena para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.
Melalui permohonan yang teregister dengan Nomor 21/PUU-XXIII/2025, Juhaidy meminta MK untuk menambahkan frasa “wakil menteri” setelah kata “menteri” dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara. Dengan demikian, pasal tersebut akan diubah menjadi: “Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.” Perubahan ini diharapkan dapat menciptakan kesetaraan dan keadilan dalam kesempatan kerja, khususnya di sektor BUMN.
Juhaidy menekankan pentingnya norma tersebut untuk mengikat seluruh pihak. Ia berharap MK akan mengabulkan permohonannya dan memperbaiki ketidakadilan yang dirasakannya.
Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
Sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 21/PUU-XXIII/2025 telah dilaksanakan di MK pada Selasa (22/4). Pemohon diberikan waktu 14 hari, hingga 5 Mei 2025, untuk memperbaiki permohonannya jika diperlukan.
Hasil dari uji materi ini akan sangat berpengaruh pada tata kelola pemerintahan dan kesempatan yang setara bagi seluruh warga negara dalam berbagai sektor, termasuk sektor BUMN. Publik menantikan keputusan MK terkait permohonan ini.