Vonis Banding Kasus Timah: Pakar Hukum Nilai Tidak Proporsional
Guru Besar Hukum Unpad dan Pakar Hukum Acara UI menilai vonis banding Harvey Moeis dan Helena Lim dalam kasus korupsi timah tidak proporsional dan menyarankan jalur perdata.
Jakarta, 14 Februari 2024 - Putusan banding terhadap Harvey Moeis dan Helena Lim dalam kasus korupsi timah menuai kontroversi. Dua pakar hukum menilai vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak proporsional. Harvey, yang disebut sebagai perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin, dan Helena, Manajer PT Quantum Skyline Exchange, divonis lebih berat dibanding putusan pengadilan tingkat pertama. Kasus ini melibatkan dugaan kerugian negara hingga Rp300 triliun.
Perdebatan Proporsionalitas Vonis
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, menyatakan vonis tersebut tidak sebanding dengan peran Harvey dan Helena. Romli menekankan bahwa Harvey bukan penyelenggara negara atau direksi PT Timah, dan Helena hanya pengusaha penukaran uang. "Helena dan Harvey sama sekali tidak memiliki mens rea (niat jahat) untuk menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp300 triliun," tegas Romli dalam keterangan tertulisnya.
Romli juga mempertanyakan perhitungan kerugian negara sebesar Rp300 triliun yang menurutnya hanya perkiraan BPKP dan bertentangan dengan UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara. Ia juga menilai keliru penetapan Harvey sebagai aktor intelektual, karena perannya terbatas pada kontrak sewa smelter dan kontrak kerja dengan penduduk sekitar tambang.
Lebih lanjut, Romli menjelaskan bahwa dakwaan pemufakatan jahat tidak terbukti selama persidangan. Ia juga menambahkan bahwa pelanggaran UU Pertambangan tidak secara tegas diatur sebagai tindak pidana korupsi. "Harvey dijerat pasal penyertaan (Pasal 55 KUHP), padahal ia tidak memiliki peran sebagai aktor intelektual," tambahnya.
Solusi Perdata Lebih Tepat?
Senada dengan Romli, Yoni Agus Setyono, Pakar Hukum Acara Universitas Indonesia, berpendapat kasus ini seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana korupsi. Yoni menjelaskan bahwa jika tujuannya mengembalikan kerugian negara atas dampak lingkungan, jalur perdata lebih tepat, terutama karena nilai kerugian negara masih diperdebatkan.
"Kalau kerugiannya belum jelas, mengapa dibawa ke pidana korupsi? Ini keliru karena kerugian negara dalam kasus ini masih diperdebatkan, sehingga penyelesaian yang tepat melalui gugatan perdata, bukan tipikor," ujar Yoni. Ia menambahkan bahwa jalur perdata memungkinkan melibatkan semua pihak terkait, termasuk perusahaan lama dan baru, sehingga lebih adil dan sesuai aturan.
Yoni juga menyarankan upaya hukum lanjutan melalui Mahkamah Agung (MA), yang berpotensi membatalkan putusan banding. Ia menekankan bahwa jika pelanggaran lebih kepada lingkungan hidup, maka harus dilihat berdasarkan UU Lingkungan Hidup, bukan UU Tipikor. UU Lingkungan Hidup Tahun 2009 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengajukan gugatan perdata, dan perhitungan kerugian telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2014.
Vonis yang Diperberat
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Harvey Moeis menjadi 20 tahun penjara (dari sebelumnya 6 tahun 6 bulan), denda Rp1 miliar subsider 8 bulan penjara, dan uang pengganti Rp420 miliar subsider 10 tahun penjara. Helena Lim juga menerima vonis yang lebih berat, yaitu 10 tahun penjara (dari 5 tahun), denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp900 juta subsider 5 tahun penjara.
Keduanya terbukti melakukan korupsi dan TPPU, menerima uang Rp420 miliar secara bersama-sama. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp300 triliun, yang meliputi kerugian atas sewa-menyewa alat pengolahan, pembayaran biji timah, dan kerugian lingkungan.
Kesimpulan
Kasus ini menimbulkan perdebatan mengenai proporsionalitas vonis dan jalur hukum yang tepat. Para ahli hukum menyoroti ketidakjelasan perhitungan kerugian negara dan peran terdakwa. Mereka menyarankan agar kasus ini ditinjau kembali dan dipertimbangkan penyelesaian melalui jalur perdata untuk mencapai keadilan yang lebih proporsional.