Wamenaker Kawal Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Eks Rektor UP: Kampus Harus Ramah Perempuan!
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan akan mengawal kasus dugaan pelecehan seksual oleh eks Rektor Universitas Pancasila (UP) dan mendesak kampus untuk ramah perempuan serta bebas dari kekerasan seksual.
Jakarta, 7 Mei 2024 - Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan menyatakan komitmennya untuk mengawal kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Rektor nonaktif Universitas Pancasila (UP) berinisial ETH (72). Kasus ini melibatkan korban berinisial RZ dan DF. Peristiwa dugaan pelecehan terjadi di lingkungan kampus, dan proses hukumnya dinilai berjalan lamban oleh kuasa hukum korban.
Wamenaker Gerungan, yang akrab disapa Noel, menegaskan keseriusan Kementerian Tenaga Kerja dalam menyelesaikan kasus ini. Ia menekankan pentingnya perlindungan terhadap pekerja, mengingat korban merupakan pekerja di lingkungan kampus. "Saya dari Kementerian Tenaga Kerja akan melakukan upaya maksimal dalam menyelesaikan kasus pelecehan seksual terhadap perempuan," tegasnya saat ditemui di Polda Metro Jaya.
Noel juga mengecam keras kejadian tersebut dan mendesak perubahan budaya di lingkungan kampus. Menurutnya, kampus seharusnya menjadi lingkungan yang aman dan ramah bagi perempuan, serta bebas dari predator seksual. "Seharusnya kampus tidak boleh ramah terhadap yang namanya predator seksual itu yang pertama, yang kedua, karena saya dari Kementerian tenaga kerja punya kewajiban melindungi pekerja, beliau (korban) ini pekerja, kami sangat mengutuk perilaku itu," ujarnya.
Kampus dan Kekerasan Seksual: Tanggung Jawab Bersama
Wamenaker Gerungan menekankan pentingnya menciptakan lingkungan kampus yang ramah perempuan dan bebas dari kekerasan seksual. Ia menilai, jika kampus tidak mampu menciptakan lingkungan seperti itu, maka dunia pendidikan Indonesia berada di ambang krisis moral. "Jika kampus tidak bisa ramah terhadap tiga itu, saya anggap dunia pendidikan kita sudah diambang yang tidak sangat bermoral," katanya. Pernyataan ini menggarisbawahi keprihatinan atas kasus ini dan seruan untuk reformasi di lingkungan perguruan tinggi.
Kasus ini telah dilaporkan dan sedang dalam proses penyelidikan. Namun, lambatnya proses hukum menjadi perhatian serius. Kuasa hukum korban, Yansen Ohoirat, mengungkapkan kekecewaannya atas lamanya proses hukum, yang telah berlangsung selama lebih dari satu tahun. "Kalau memang kita lihat dari jenjang waktu dari Januari 2024 sampai dengan saat ini kurang lebih 1 tahun 5 bulan, dalam proses penyelidikan sampai ke penyidikan. Ini rentang waktu yang sangat panjang kalau menurut kami," ujar Yansen.
Yansen dan kuasa hukum korban lainnya, Amanda Manthovani, telah menemui Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengadukan dugaan lambannya penanganan kasus ini. Mereka mempertanyakan profesionalitas tim penyidik dan berharap agar kasus ini segera mendapatkan titik terang. Proses penyidikan yang panjang tanpa adanya tersangka menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas penegakan hukum dalam kasus ini.
Amanda Manthovani juga mengungkapkan bahwa kredibilitas dirinya sebagai kuasa hukum sempat dipertanyakan oleh korban. Hal ini menunjukkan kompleksitas kasus yang tidak hanya menyangkut aspek hukum, tetapi juga aspek psikologis korban.
Perlindungan Korban dan Reformasi Kampus
Kasus dugaan pelecehan seksual ini menyoroti pentingnya perlindungan korban dan reformasi di lingkungan kampus. Kehadiran Wamenaker dalam mengawal kasus ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam melindungi pekerja dan menciptakan lingkungan kerja yang aman. Proses hukum yang adil dan tuntas sangat diperlukan untuk memberikan keadilan bagi korban dan mencegah terulangnya kejadian serupa.
Lebih lanjut, kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya menciptakan lingkungan kampus yang ramah perempuan dan bebas dari kekerasan seksual. Kampus sebagai lembaga pendidikan seharusnya menjadi contoh dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi seluruh civitas akademika. Perubahan budaya dan peningkatan kesadaran tentang kekerasan seksual di lingkungan kampus menjadi kunci untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Kehadiran Wamenaker dalam kasus ini diharapkan dapat mempercepat proses hukum dan memberikan keadilan bagi korban. Selain itu, kasus ini juga menjadi momentum untuk mendorong reformasi di lingkungan kampus agar tercipta lingkungan yang aman, ramah, dan bebas dari kekerasan seksual bagi seluruh mahasiswa dan tenaga kependidikan.
Langkah-langkah konkret perlu diambil untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di kampus, seperti pelatihan bagi seluruh civitas akademika tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, serta pembentukan mekanisme pengaduan yang efektif dan responsif.