30 Tahun Bersengketa, BP Taskin Desak PT CTS Kembalikan Tanah Adat Jimbaran Bali yang HGB-nya Berakhir
Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) mendesak PT Citratama Selaras (CTS) mengembalikan 31 hektare tanah adat di Jimbaran, Bali, yang HGB-nya berakhir sejak 2019. Sengketa tanah adat Jimbaran ini telah berlangsung lebih dari 30 tahun.

Jakarta, 31 Juli 2024 – Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin), Budiman Sudjatmiko, secara tegas mendesak PT Citratama Selaras (CTS) untuk segera mengembalikan 31 hektare tanah adat di Jimbaran, Bali, kepada negara. Desakan ini muncul mengingat status Hak Guna Bangunan (HGB) atas lahan tersebut telah lama berakhir, tepatnya sejak tahun 2019. Permasalahan sengketa lahan ini telah menjadi sorotan publik dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat adat setempat.
Budiman Sudjatmiko menyoroti bahwa kasus ini mencerminkan adanya praktik 'serakahnomik' yang bertentangan dengan komitmen Presiden dalam pengentasan kemiskinan dan keadilan sosial. Menurutnya, ketidakadilan ini telah berlangsung cukup lama tanpa kejelasan hukum yang memadai. Secara hukum, jika HGB tidak diperpanjang, lahan tersebut seharusnya dikembalikan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan dikuasai oleh pihak swasta.
Pernyataan ini disampaikan Budiman Sudjatmiko setelah menerima kunjungan Kepala Desa Adat Jimbaran, Anak Agung Made Rai Dirga, di Jakarta. Kunjungan tersebut bertujuan untuk menyampaikan langsung persoalan sengketa tanah yang telah membelenggu masyarakat adat Jimbaran selama lebih dari tiga dekade. Situasi ini menunjukkan urgensi penanganan masalah agraria yang berpihak pada hak-hak masyarakat adat.
Kronologi Sengketa Tanah Adat Jimbaran yang Berlarut
Permasalahan sengketa tanah adat di Jimbaran ini berawal pada era 1990-an, ketika 31 hektare tanah adat Desa Jimbaran dijual kepada PT Citratama Selaras (CTS) dengan status Hak Guna Bangunan (HGB). Penjualan ini dilakukan dengan kompensasi yang sangat minim bagi masyarakat adat, yakni hanya sebesar Rp35 juta. Padahal, pada saat itu, harga tanah di lokasi tersebut sudah mencapai Rp7 juta per meter persegi, menunjukkan adanya disparitas nilai yang sangat mencolok.
Menurut Anak Agung Made Rai Dirga, status HGB tanah tersebut secara resmi berakhir pada tahun 2019. Namun, setelah masa berlaku HGB habis, desa adat tidak pernah mendapatkan pemberitahuan resmi mengenai perpanjangan atau pengembalian status lahan tersebut. Ketiadaan informasi ini menimbulkan tanda tanya besar dan memperkeruh situasi hukum serta sosial di antara masyarakat adat Jimbaran.
Ketidakjelasan status tanah ini menjadi akar masalah yang berkepanjangan, menghambat masyarakat adat untuk memanfaatkan lahan mereka secara optimal. PT Citratama Selaras sendiri diketahui mengembangkan tanah sengketa ini untuk proyek Jimbaran Hijau. Perkembangan proyek di atas lahan yang masih bermasalah ini semakin meningkatkan tekanan bagi masyarakat adat yang merasa hak-haknya terampas.
Dampak Sosial dan Ekonomi bagi Masyarakat Adat
Sengketa tanah adat Jimbaran ini telah menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat setempat. Anak Agung Made Rai Dirga mencatat setidaknya ada 300 kepala keluarga yang terdampak langsung akibat konflik lahan ini. Mereka kehilangan akses terhadap mata pencarian tradisional mereka, seperti bertani dan melaut, karena akses ke lahan dan laut terputus oleh pengembangan proyek.
Selain itu, sengketa ini juga membatasi akses masyarakat adat terhadap tempat ibadah mereka. Terdapat pura di area tanah sengketa yang kini telah dipagar, sehingga masyarakat tidak dapat masuk untuk beribadah. Kondisi ini menciptakan 'kantong kemiskinan' di tengah-tengah wilayah Jimbaran yang dikenal sebagai destinasi pariwisata mewah dengan banyak hotel dan fasilitas turisme megah.
Kehilangan akses terhadap tanah adat tidak hanya berarti kehilangan sumber penghidupan, tetapi juga ancaman terhadap keberlangsungan budaya dan spiritual masyarakat. Pura sebagai pusat ibadah dan tradisi menjadi terisolasi, mengikis ikatan komunitas dengan warisan leluhur mereka. Situasi ini menuntut perhatian serius dari pemerintah untuk menegakkan keadilan dan memastikan hak-hak masyarakat adat terpenuhi.
Desakan BP Taskin dan Harapan Keadilan
Melihat kondisi yang memprihatinkan ini, Kepala Desa Adat Jimbaran mendesak pihak PT CTS untuk segera mengembalikan tanah adat tersebut. Desakan ini didasari oleh kondisi masyarakat adat yang hidup dalam kemiskinan, meskipun berada di lokasi yang sangat strategis dan kaya akan potensi pariwisata. Pengembalian tanah ini diharapkan dapat memulihkan hak-hak masyarakat dan membuka kembali peluang ekonomi bagi mereka.
Budiman Sudjatmiko menegaskan bahwa pengembalian tanah adat kepada negara adalah langkah krusial untuk mewujudkan keadilan sosial. Ia menekankan pentingnya kepastian hukum bagi masyarakat yang telah lama menderita akibat sengketa ini. Jika HGB telah berakhir, maka tanah tersebut harus dikembalikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan amanat undang-undang dan komitmen pemerintah.
Harapan besar kini tertumpu pada penyelesaian sengketa tanah adat Jimbaran ini. BP Taskin berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini agar hak-hak masyarakat adat dapat dipulihkan dan keadilan dapat ditegakkan. Penyelesaian yang adil akan menjadi preseden positif bagi penanganan sengketa agraria serupa di seluruh Indonesia, memastikan bahwa pembangunan tidak mengorbankan hak-hak fundamental masyarakat adat.