Ahmad Dhani: Putusan MKD Soal Pelanggaran Etik Hanya Masalah Penilaian Nilai
Anggota Komisi X DPR RI, Ahmad Dhani, menilai putusan MKD terkait pelanggaran etik sebagai masalah perbedaan nilai dan penyesuaian norma keparlementerian.

Anggota Komisi X DPR RI, Ahmad Dhani, menyatakan bahwa putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI yang menyatakan dirinya melanggar kode etik, pada dasarnya merupakan masalah perbedaan penafsiran nilai. Hal ini disampaikannya usai menghadiri sidang pembacaan putusan MKD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/5).
Dhani menjelaskan, "Ya, sebenarnya itu semua masalah menilai saja, kalau tidak ada yang ngelaporin ya nilainya tidak ada sebenarnya, sama saja, karena ada yang melaporkan ada nilai-nilai lain dari luar, value (nilai) dari luar, itu lah (putusan dijatuhkan)." Ia mengakui adanya perbedaan antara nilai-nilai personal yang diyakininya dengan nilai-nilai yang berlaku di lingkungan parlemen.
Lebih lanjut, Dhani menekankan perlunya penyesuaian nilai-nilai pribadi dengan norma keparlementerian. "Jadi karena saya menjadi anggota DPR/MPR tentunya value harus di-adjust (disesuaikan) menjadi value daripada parlemen. Jadi saya sudah enggak bisa menggunakan value saya sendiri," ujarnya. Ia juga menjelaskan pandangannya tentang norma, yang menurutnya berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945.
Permintaan Maaf dan Perbedaan Pandangan
Dalam amar putusan, Ahmad Dhani menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada para pelapor atas dua kasus berbeda. Ia meminta maaf kepada Rayendie Rohy Pono atas dugaan penghinaan, dengan mengatakan, "Khusus permintaan maaf untuk keluarga marga Pono, mohon maaf atas slip of the tongue yang pernah terjadi di acara diskusi hak cipta." Permintaan maaf ini juga ditujukan kepada pihak-pihak lain yang telah melaporkannya.
Terkait perbedaan pandangan dengan Komnas Perempuan mengenai pernyataannya yang dinilai seksis, Dhani menjelaskan bahwa ia berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945. Ia berpendapat bahwa norma seksis atau gender tidak berlaku di Indonesia, dan bahwa norma yang tepat adalah etika dan moral yang tertuang dalam Pancasila.
Dhani menegaskan, "Menurut saya kan hanya ada satu (pihak) yang merasa itu tidak patut karena tidak sesuai dengan norma yang diyakininya. Komnas Perempuan merasa itu melanggar norma yang mereka yakini, meskipun itu tidak dianggap bertentangan dengan Pancasila." Ia juga menyatakan kesiapannya untuk berdebat dengan Komnas Perempuan mengenai etika dan moral berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dhani mempertahankan bahwa pernyataannya dalam Rapat Komisi X DPR RI bersama PSSI tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Ia berpendapat bahwa perbedaan pandangan merupakan hal yang wajar, selama tidak bertentangan dengan norma-norma dasar negara.
Pandangan Terhadap Norma dan Nilai
Ahmad Dhani menjelaskan bahwa sebelum menjadi anggota DPR, ia memegang nilai-nilai personal. Namun, setelah menjadi anggota dewan, ia menyadari perlunya menyesuaikan nilai-nilai tersebut dengan norma keparlementerian. Ia menekankan pentingnya berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan norma dan etika.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa norma-norma adat dan lainnya telah tercakup dalam Pancasila. Oleh karena itu, ia merasa pernyataannya yang dianggap melanggar kode etik tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai dasar negara. Ia juga menekankan pentingnya berpegang pada etika dan moral yang sesuai dengan Pancasila, bukan norma-norma yang berasal dari luar negeri.
Putusan MKD, menurut Dhani, merupakan masalah perbedaan interpretasi nilai. Ia mengakui perlunya penyesuaian nilai-nilai pribadi dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan parlemen. Namun, ia tetap berpegang teguh pada keyakinannya bahwa tindakannya tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian, kasus ini menyoroti pentingnya pemahaman dan penerapan norma-norma keparlementerian, serta pentingnya dialog dan pemahaman yang lebih baik antar lembaga dan individu dalam perbedaan penafsiran nilai.