Akses Pendidikan di Daerah 3T: Tantangan dan Solusi Menuju Indonesia Maju
Ketimpangan akses pendidikan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) menjadi tantangan besar, membutuhkan solusi komprehensif dari pemerintah dan masyarakat.

Jakarta, 15 Mei (ANTARA) - Ketimpangan akses pendidikan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) masih menjadi tantangan besar dalam mewujudkan pendidikan nasional yang berkualitas dan merata. Meskipun pembentukan Komisi Kerja Pendidikan Daerah 3T dan Marginal Komisi X DPR memberikan secercah harapan, laporan yang dihasilkan justru menyoroti realita getir sistem pendidikan di daerah-daerah tersebut.
Laporan tersebut mengungkapkan kekurangan fasilitas pendidikan yang memadai dan rendahnya capaian pendidikan penduduk di wilayah 3T. Beberapa masukan dalam laporan berasal dari jaringan pemantau pendidikan Indonesia (JPPI). Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, memaparkan temuannya di lapangan, khususnya di daerah terpencil Kalimantan dan Papua. Banyak sekolah di sana kekurangan guru tetap, buku teks, dan akses internet untuk mendukung pembelajaran digital. "Bagaimana kita bisa bicara tentang pembelajaran mandiri jika siswa harus menulis dengan arang di papan tulis karena tidak memiliki buku?" tanyanya.
Data JPPI menunjukkan bahwa pada tahun 2024, hampir 50 persen anak di daerah 3T hanya menyelesaikan pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar (SD). Beberapa faktor yang menyebabkan putus sekolah di daerah 3T antara lain: jumlah dan kualitas sekolah yang buruk; jarak tempuh dan akses yang sulit; kondisi ekonomi keluarga yang lemah; praktik pernikahan anak dan pekerja anak; serta kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Tantangan Akses Pendidikan di Daerah 3T
Matraji menjelaskan bahwa di daerah 3T, sekolah-sekolah yang dekat dengan pemukiman penduduk seringkali hanya sampai tingkat SD. Jika anak ingin melanjutkan ke SMP atau SMA, mereka harus menempuh perjalanan jauh. Permasalahan ini membuat sebagian masyarakat meyakini bahwa bekerja untuk membangun ketahanan ekonomi keluarga lebih penting daripada bersekolah. Mereka belum yakin bahwa bersekolah dapat meningkatkan kondisi ekonomi mereka.
Masyarakat cenderung meremehkan pendidikan, banyak yang beranggapan bahwa setelah menyelesaikan sekolah, pilihan pekerjaan mereka akan terbatas pada bertani, menangkap ikan, atau bekerja di hutan. Oleh karena itu, JPPI mendorong pemerintah untuk memberikan anggaran pendidikan khusus untuk daerah 3T, termasuk dukungan logistik pendidikan seperti modul cetak, peralatan belajar sederhana, dan program pelatihan bagi guru-guru lokal.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyoroti masalah pendidikan di daerah 3T. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam keterangannya kepada Komisi Kerja Pendidikan Daerah 3T dan Marginal, mengungkapkan bahwa jumlah sekolah dengan bangunan rusak masih cukup tinggi, terutama di tingkat SD dan SMP. Dari total 20.573 sekolah (PAUD hingga SMA) di daerah 3T, sebanyak 10.294 bangunannya rusak.
Solusi dan Upaya Pemerintah
Fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar, seperti perpustakaan dan laboratorium, masih kurang. Lebih dari 5.783 sekolah tidak memiliki listrik, sementara 10.692 sekolah tidak memiliki akses internet. Menanggapi hal ini, Komisi X DPR melalui komisi kerja pendidikan menegaskan komitmennya untuk membuat peta jalan kebijakan afirmatif. Ketua Komisi X, Hetifah Sjaifudian, menekankan bahwa mengejar kesetaraan pendidikan bukan hanya tentang membangun gedung sekolah, tetapi juga membangun ekosistem pendidikan yang lengkap—mulai dari guru, fasilitas, hingga teknologi.
Komisi tersebut juga menekankan pentingnya sinergi antar kementerian, seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; serta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mendigitalisasi pendidikan di daerah tertinggal. Akses internet dan teknologi yang tidak merata harus segera diatasi untuk mencegah ketimpangan pendidikan semakin memburuk di era digital.
Komisi X telah mulai membahas langkah-langkah konkret untuk mengatasi hal ini, termasuk mendorong 'sekolah keliling' atau sekolah yang didekatkan ke daerah terisolir, dan memberikan dukungan kepada guru-guru lokal melalui insentif dan program beasiswa afirmatif. Wakil Ketua Komisi X DPR, Himmatul Aliyah, mengusulkan kebijakan fiskal afirmatif bagi kepala daerah yang berhasil meningkatkan pendidikan di daerah 3T.
Mewujudkan kesetaraan di sektor pendidikan untuk daerah 3T membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan komitmen jangka panjang dari semua pihak, termasuk masyarakat. Jika tidak segera diatasi, dikhawatirkan ketimpangan pendidikan akan membahayakan masa depan generasi muda Indonesia.