Perjuangan Pendidikan di Daerah 3T: Tantangan dan Harapan Menuju Pemerataan Kualitas
Komisi X DPR RI berupaya mengatasi ketimpangan pendidikan di daerah 3T melalui berbagai program dan kebijakan afirmatif untuk mewujudkan pendidikan berkualitas dan merata bagi seluruh anak Indonesia.

Jakarta, 14 Mei 2024 (ANTARA) - Ketimpangan akses pendidikan di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) Indonesia masih menjadi masalah besar. Minimnya fasilitas, keterbatasan jenjang pendidikan, dan berbagai faktor lain menghambat terwujudnya pendidikan nasional yang berkualitas dan merata. Namun, hadirnya Panitia Kerja (Panja) Pendidikan di Daerah 3T dan Marginal Komisi X DPR RI menyulut harapan baru untuk mengatasi permasalahan ini.
Berbagai temuan mengejutkan terungkap dari rapat dengar pendapat yang digelar Panja. Organisasi masyarakat sipil, seperti Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), melaporkan kondisi memprihatinkan di lapangan. Sekolah-sekolah di pedalaman Kalimantan dan Papua, misalnya, kekurangan guru tetap, buku pelajaran layak, dan akses internet. "Bagaimana kita bisa bicara Merdeka Belajar jika murid harus menulis dengan arang di papan karena tidak ada buku?" ungkap Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji.
Data JPPI juga menunjukkan fakta bahwa hampir 50 persen anak di daerah 3T hanya mampu menyelesaikan pendidikan dasar (SD) pada tahun 2024. Faktor penyebabnya beragam, mulai dari jumlah dan kualitas sekolah yang buruk, akses yang sulit, biaya pendidikan, pernikahan dini, pekerja anak, hingga rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Tantangan Pendidikan di Daerah 3T: Akses, Infrastruktur, dan Kesadaran
Salah satu tantangan utama adalah jarak tempuh ke sekolah. Sekolah yang dekat dengan permukiman umumnya hanya tersedia untuk pendidikan dasar. Untuk melanjutkan ke SMP dan SMA, siswa harus menempuh perjalanan jauh, yang seringkali menjadi penghalang utama. Kondisi ini membuat sebagian masyarakat mementingkan ketahanan ekonomi keluarga daripada pendidikan, karena mereka belum memahami pentingnya pendidikan untuk meningkatkan taraf hidup.
Anggapan bahwa pendidikan hanya akan menghasilkan petani, nelayan, atau pekerja hutan masih melekat kuat di sebagian masyarakat daerah 3T. Oleh karena itu, JPPI mendorong pemerintah untuk mengalokasikan anggaran khusus pendidikan di daerah 3T, termasuk dukungan logistik seperti modul cetak, peralatan belajar, dan pelatihan guru lokal.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga turut menyoroti permasalahan ini. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan tingginya angka kerusakan sekolah, terutama di tingkat SD dan SMP. Dari 20.573 sekolah di daerah 3T, 10.294 sekolah rusak. Selain itu, masih banyak sekolah yang kekurangan sarana pendukung seperti perpustakaan dan laboratorium, bahkan belum teraliri listrik dan akses internet.
Upaya Pemerintah dan DPR RI dalam Mengatasi Ketimpangan Pendidikan
Menanggapi temuan tersebut, Komisi X DPR RI berkomitmen untuk menyusun peta jalan kebijakan afirmatif. Ketua Komisi X, Hetifah Sjaifudian, menekankan bahwa pemerataan pendidikan bukan hanya soal membangun sekolah, tetapi juga membangun ekosistem pendidikan yang lengkap, termasuk guru, sarana, dan teknologi.
Komisi X juga mendorong sinergi antar kementerian terkait, seperti Kementerian Pendidikan, Kemendikbudristek, Kemendes PDT, dan Kemkominfo, untuk mengatasi masalah digitalisasi pendidikan di daerah tertinggal. Akses internet dan teknologi yang timpang harus segera diatasi untuk mencegah melebarnya jurang ketimpangan pendidikan di era digital.
Beberapa langkah konkret yang diwacanakan antara lain adalah program "sekolah bergerak", dukungan terhadap guru lokal melalui insentif dan beasiswa, serta evaluasi efektivitas program Indonesia Mengajar, SM-3T, dan KIP Kuliah. Wakil Ketua Komisi X DPR, Himmatul Aliyah, bahkan mengusulkan kebijakan fiskal afirmatif bagi kepala daerah yang berhasil meningkatkan indikator pendidikan di wilayah 3T.
Harapan dan Komitmen Jangka Panjang
Dengan adanya perhatian dari berbagai pihak, harapan untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan merata di daerah 3T semakin besar. Namun, perjuangan ini membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan komitmen jangka panjang dari semua pihak. Jika tidak segera ditangani secara komprehensif, ketimpangan pendidikan ini berpotensi menjadi bom waktu yang mengancam masa depan generasi bangsa.
Pemerataan pendidikan merupakan investasi jangka panjang untuk pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Dengan komitmen bersama, mimpi akan pendidikan berkualitas dan merata untuk seluruh anak Indonesia dapat terwujud.